A. PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia
menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat
akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota
masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di
dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi
ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang
tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi
atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku
menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto,
181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau
karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka
penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang
dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga
masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau
menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau
sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah
enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana
suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial
tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus
dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau
membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau
menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi
tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar
kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social
control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang
direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing
atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri.
Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut
pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian,
pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan
(spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya
merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga
masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan
sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan
pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang
bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau
norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada
tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi
norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk
maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat
menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum
terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha
pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi,
usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi
penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi
pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti
semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”.
Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat
adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan
seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan
untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari
penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang
tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan
memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak
sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak
sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan
oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya
peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi
karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan
dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola
kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan
kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi
juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari
orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan
silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.
C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang
diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma
kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara
rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri
dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang
melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang
sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya
bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan,
menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat
yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan
yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan
wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan
resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan
dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial
gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk
mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping
cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan
mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai
dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang
hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah
melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat
yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni
kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh
tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang
-ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran
seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya,
bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2.
Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian
sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol
sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga
masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir
selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang
lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam
sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh
masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau
menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini
kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma
tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol
sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa
diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang
hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa
sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan
fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan
malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan
kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial
sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif
yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera
meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan
sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah
diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh
daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam
sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah
akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman
cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai
sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan
sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan
psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik
kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang
lebih banyak.
Apakah
kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga
masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian
menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata
tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin
terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau
penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya
sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan
secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan
;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang
bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang
terjadi.
1.
Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah
efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah
pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan
keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh
warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha
sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi
self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu
dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila
kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak
warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga
karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial
dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2.
Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan
semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil
studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk
menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam
masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di
dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial
besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan
tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3.
Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih
apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan
bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang
berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi
eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling
berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan
adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen.
Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan
terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam
keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan
dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4.
Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang
Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling
mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan
bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin
bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan
lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada
masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi
sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di
balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi
heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang
kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari
kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu
selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal
sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan
individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan
diharuskan.
5.
Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen,
bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap
toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering
membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang
seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor
sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol
atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh
suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam
relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam.
Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan
cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan
pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan
diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan
kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa
tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun
jangka waktu yang dikehendaki.
Di
dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial
tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat
atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah
sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan
dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim
dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat,
tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
Diarikan
dari : “Berkenalan dengan Sosiologi, M. Sitorus”
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)“