Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.
Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.
Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.
Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.
http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/
Bab I Pandangan Sosiologis Tentang Agama
Karena luas dan keanekaragaman pokok bahasannya, maka bidang agama merupakan sesuatu yang sulit untuk diukur dengan menggunakan penilaian sosiologi. Bagi kebanyakan di antara kita, perhatian utama terhadap agama bersifat perorangan dan individualistik. Dalam mengkaji agama tersebut kita cenderung memusatkan pada aspek-aspek etik dan kepercayaan yang lebih bersifat intelektual dan emosional.
William James, dalam definisinya tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat universal, sosial dan institusional. James tertarik kepada agama sebagai fungsi universal masyarakat di mana saja mereka temukan. Perhatiannya adalah kepada agama sebagai salah-satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarkat.
Orang pertama yang mendahului bahwa tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan.
Penulis-penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Durkheim, dan belakangan juga freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Semua yang dijelaskan tentang agama, bahwa agama itu merupakan produk kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk pencipta kebudayaan.
Salah satu hal yang terpenting dalam agama pada masyarkat adalah ia harus percaya terhadap hal yang sakral, walaupun ini berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan ataupun sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang dikenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau, sering kita katakan, antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane).
Ciri umum apakah yang kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak terbatas ini, yang bisa disebut sakral? Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujud-wujudnya saja kita akan menemukan jawaban. Menurut emile durkheim, bukan benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justeru berbagai sikap dan perasaan yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Berkaitan erat dengan yang sakral, atau suci, adalah yang tidak suci; yang mencakup apa saja yang dianggap mencemarkan yang suci itu. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral di pagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.
Bab II Fungsi-Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Istilah fungsi, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus.
Tujuan yang diharapkan untuk meningkatkan kesempatan mencapai kebahagiaan Nirwana (surga), sedangkan yang diharapkan orang metodis dengan perbuatannya itu adalah untuk menyalurkan kebahagiaannya karena yakin bahwa dia diselamtkan karena rahmat Tuhan dari dosa-dosanya. Tujuan-tujuan lain yang diakui oleh para anggota berbagai kelompok keagamaan itu berkaitan dengan kehidupan di dunia lain, masuk surga dan terhindar dari neraka, meringankan (beban) arwah di tempat penyucian dosa, dan memperoleh jaminan untuk berpindah ketingkat kehidupan yang paling tinggi. Meskipun demikian para penganut agama lainnya mungkin mengatakan bahwa tujuan mereka adalah mengharmoniskan jiwa mereka dengan alam semesta, mengagungkan Tuhan dan melaksanakan kehendak-nya secara sempurna, atau dengan sembahyang, berdoa mereka membujuk dewa-dewa agar berkenan memberikan rahmat kepada umat manusia.
Tanpa adanya maksud-maksud yang disadari semacam itu, sangat boleh jadi tingkah-laku keagamaan tidak akan dilaksanakan. Akibat-akibat yang tidak disengaja dari tingkah-laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada tujuan-tujuan mereka yang disadari. Maksud dari itu semua fungsi-fungsi yang tidak disengaja yang dilaksanakan oleh suatu bentuk tingkah-laku institusional tertentu kadang-kadang dinyatakan oleh sarjana sosiologi sebagai fungsi latent (tersembunyi); sedangkan fungsi yang disengaja, tujuan-tujuan yang resmi dari lembaga tersebut disebut fungsi manifest (nyata).
Sumbangan agama terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal, dan kedua, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu beberapa jenis persetujuan bersama, atau konsesnsus, mengenai wujud kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai adanya kekuatan yang mampu memaksa orang-orang dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai sosial. Bahwasanya masyarakat sedikit banyak ditemukannya konsep-konsep yang jelas mengenai tingkah-laku yang diakui sesuai standar tingkah-laku itu. Yang membentuk nilai-nilai sosial ini, sering disebut oleh sarjana-sarjana sosiologi sebagai norma-norma sosial.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran kepribadian. Maka harus ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.
Bab III Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama
Di dalam seluruh masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, orang yang membedakan antara masalah-masalah yang sakral dan yang sekuler. Ada tiga tipe masyarakat. Tipe pertama adalah masyarakat dimana nilai-nilai yang sakral kuat sekali. Masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial mereka relatif masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat sederhana.
Penganut agama yang sama; oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan maupun rekreatif.
Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya karena sebagian besar adat-istiadatnya dikenal. Masyarakat ini berpendapat bahwa pertama, agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak; kedua dalam keadaan lembaga lain selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Tipe kedua mencerminkan sejenis lingkungan di antara dua tipe lain tersebut. Tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, pertanian dan industri tangan, beberapa pusat perdagangan kota. Batas-batas yang lebih tegas dapat diketahui kapan orang-orang pergi berkerja, bermain, atau pergi bersembahyang daripada, misalnya di kalangan penduduk (pulau) Trobriand.
Agama tentu saja memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan.
Tipe ketiga adalah masyarakat di mana nilai-nilai sekuler sangat berpengaruh. Deskripsi di bawah ini jelas agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat. Akan tetapi yang disebut terakhir ini, karena tingginya tingkat sekularismenya, bisa dianggap sebagai salah-satu contoh yang apling mirip dengan masyarakat tipe ketiga ini.
Dalam tipe masyarakt ketiga ini karena sekuler di bidang ekonomi bisa juga mengambil warna sakral yang semu. Di dalam banyak deskripsi yang populer mengenai tatanan ekonomi pada masyarakat modern tampak bahwa seringkali kata uang dapat diganti dengan moral, tanpa terfikir apakah ini merupakan kesalahan cetak atau kesalahan tulisan.
Tingkah-laku sejumlah orang dalam masyarakat industri yang relatif modern dibentuk semata-mata, atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja, antara lain di sebabkan oleh keanekaragaman sistem nilai dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendaptkan kesetiaan setiap individu anggotanya.
Eksistensi sub-sub masyrakat yang lebih kecil di dalam masyarakat kita yang lebih luas ini dengan konsepsi mereka yang berbeda-beda tentang peranan agama menimbulkan konflik-konflik dan ketidaksesuaian baik dalam tatanan sosial maupun dalam kepribadian mereka.
Bab IV Agama dan Ketegangan Manusia
Di kalangan semua masyarakat terdapat masa-masa di mana segala sesuatu berjalan lancar, kewajiban-kewajiban sosial berjalan normal, dan pria-wanita melaksanakan peranan sosial mereka dengan cukup aman sehingga teman-teman mereka akan melaksanakan hal yang sama pula. Bahwa mereka dapat saling mempercayai satu sama lain, dan mereka tahu sebagian besar dari apa yang dapat mereka harapkan di dunia natural maupun dunia sosial.
Pada saat-saat kebanyakan masyarakat di mana orang melakukan pekerjaan tanpa ketegangan yang berarti dan alat-alat yang tersedia pada mereka cukup untuk mencapai tujuan yang didambakan, tapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Akan tetapi kita mengetahui bahwa tragedi dan ketegangan itu merupakan sifat dasar dari situasi manusia. Baik itu besar atau kecil, dalam semua tipe masyarakt antara harapan-harapan yang dilandasi oleh sikap budaya mereka dan tercapainya harapan-harapan tersebut. Oleh karena itu cara ilmiah yang praktis, bagaimanapun tinggi perkembangannya, tidak pernah cukup untuk memenuhi situasi manusia. Maka adapula yang menggunakan cara ilmiah modern kemungkinan antisipasi dari terciptanya teknologi yang pesat, secara tidak langsung telah mendorong terciptanya aura-aura baru yang tidak dapat di kuasai.
Demikian pula dari satu segi, agama dapat dianggap-meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambaran yang tuntas-sebagai salah-satu cara yang paling pengting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan dapat dibagi dalam dua kategori utama. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang-orang lain yang penting bagi mereka. Lalu dengan kategori kedua, yang penting adalah situasi-situasi di mana kekuatan-kekuatan alam yang sebagian besar tidak dapat dikuasai dan diramalkan bisa membahayakan kebutuhan vital masyarakat yaitu persediaan makanan dan kesehatan.
Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui bahwa kita pasti akan mati, namun hampir tak seorang pun mengetahui kapan kematian itu akan terjadi. Tak seorang pun, selain barangkali orang yang bunuh diri, dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya. Antara lain karena ketidakpastian inilah kita menemukan interpretasi- interpretasi keagamaan tentang kemtian dalam setiap masyarakat.
Seorang sarjana sosiologi mengira apabila dalam masyarakat kematian yang belum waktunya sudah tidak ada lagi, melalui penerapan ahli seperti dokter dan usaha-usaha untuk menghindar dari terjadinya kecelakaan- kecelakaan, sehingga setiap orang dapat mengharapkan hidup sampai umur 70 tahun, sebagian peranan yang sekarang dimainkan agama dalam urusan- urusan kemanusiaan barangkali akan berubah secara mendasar.
Agama sering dilibatkan terhadap penyesuaian diri dalam berbagai hal seperti istilah magi dalam menguasai yang gaib pada praktik-praktik keagamaan yang semu. Dan agama dilirik oleh sains yang memberi manusia cara-cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Yang pada akhirnya magi, sains dan agama memberikan tipe-tipe masyrakat yang bermacam-macam. Akan tetapi unsur penyesuaian diri tersebut sama sekali tidak berasal dari lingkungan yang sama. Walaupun memiliki penyerapan dan penafsiran yang berbeda.
Tujuan-tujuan agama terarah kepada hal-hal yang nonempirik, atau dunia lain yang gaib (adikodrati). Meskipun agama seringkali berkaitan dengan kesejahteraan jasmani dan sosial umat manusia, namun agama selalu mempunyai titik acuan yang transendental.
Bab V Agama, Masalah Makna dan Masyarakat
Setiap masyarakat yang telah mampu mempertahankan dirinya dalam jangka waktu lama di tengah-tengah peperangan-peperangan dan kemelut-kemelut yang terjadi berbarengan dengan kehidupan berkelompok mereka, telah mampu mengembangkan sejumlah interpretasi moral terhadap pandangan hidupnya sendiri, sebagai penjelasan tentang persoalan makna kemasyarakatan. Pada kenyataanya juga sama pentingnya adalah bahwa sampai sekarang tak ada sekelompok orangpun yang mampu memberikan penjelasan tentang makna sistem sosialnya yang mengikat erat secara moral itu, tanpa memasukkan beberapa unsur, betapa kecilnya, di luar makna umum yang empirik.
Pertimbangan-Pertimbangan tersebut di atas memberikan konteks umum dengan peranan agama dalam memberikan penafsiran-penafsiran secara moral tentang sejarah umat manusia dan aturan-aturan sosial.
Salah-satu diantara perhatian utama sarjana sosiologi adalah makna yang diberikan oleh agama-agama tertentu mengenai perbedaan-perbedaan posisi dan harga diri kelas-kelas sosial yang beraneka ragam. Dan mengulas interpretasi-interpretasi keagamaan mengenai sistem-sistem stratifikasi sosial.
Bagaimanapun juga pengkajian sosiologis selayaknya kita terapkan pada tempatnya. Di antara pada pengkaji boleh jadi ada yang setuju dengan pemikiran Marxis yang menganggap segala macam interpretasi keagamaan merupakan sekedar rasionalisasi-rasionalisasi, atau bahkan ada yang patuh juga kepada agama tertentu dan juga yang munafik, tetapi memenuhi keinginan-keinginan dari kelas-kelas yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu pembahasan di bawah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memisahkan atau menyendirikan faktor-faktor material dan ekonomi di satu pihak dan faktor-faktor keagamaan dan spiritual di lain pihak.
Sistem-sistem kelas memberikan status yang berbeda-beda dan tidak sama kepada anggota-anggota suatu masyarakat. Akibat dari ketidaksamaan sosial tersebut kadang-kadang tidak hanya sangat tajam tetapi juga diperlakukan secara ketat. Situasi ini lagi-lagi menimbulkan masalah penafsiran terhadap sistem sosial dalam pengertian moral dan yang bermakna.
Sistem kelas-kelas atau tingkat-tingkat sosial di Eropa pada abad pertengahan dalam hal-hal yang penting berbeda dengan sistem kasta dalam agama Hindu. Metode yang digunakan oleh pandangan keagamaan untuk memberi makna moral kepada sistem kelas di abad pertengahan tersebut juga berbeda. Dengan demikian sistem pada abad pertengahan tersebut menghidupkan terus ketidaksamaan-ketidaksamaan yang besar memerlukan interpretasi secara moral.
St. Augustine, yang bukunya City of God paling jelas mengungkapkan konsepsi tujuan ini, menjelaskan bahwa pembenaran moral dari umat adalah untuk mempertahankan kondisi-kondisi semacam itu sehingga orang-orang kristen dapat menjalankan kehidupan duniawi mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka yang abadi. Selain itu Lembaga-lembaga ekonomi, begitu juga sistem-sistem kelas yang berkaitan, memerlukan interpretasi moral. Pemerataan kekayaan dan cara-cara memperolehnya bisa menimbulkan perasaan-perasaan ketidakadilan dan ketidaksamaan. Di dalam masyarakat-masyarakat ini berbagai ketidakadilan dan ketidaksamaan nasib individu-individu dan negara-negara dengan berbagai bentuknya adalah jelas. Akan tetapi interpretasi-interpretasi sekuler terhadap makna tatanan sosial itu timbul bersama-sama dengan timbulnya interpretasi-interpretasi keagamaan. Oleh karena itu nasionalisme, komunisme dan mungkin demokrasi itu sendiri bisa menjadi agama-agama semu, yang merupakan tandingan agama spritual tradisional.
Bab VI Organisasi Keagamaan
Semua organisasi sosial yang dimaksudkan untuk membentuk tingkah-laku manusia sesuai dengan pola yang ditentukan, baik pola yang ditetapkan oleh doktrin agama, ajaran etik maupun oleh filsafat politik, pasti menghadapi suatu dilema. Jika organisasi tersebut ingin berhasil dalam memperdaya masyarakat sesuai dengan arah tujuannya masing-masing, maka organisasi tersebut harus berhasil dalam dua sektor.
Di satu pihak organisasi tersebut harus menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Di lain pihak, apabila organisasi itu juga ingin mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, mereka jelas harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka. Kedua persyaratan ini ibarat buah simalakama, karena keberhasilan pada salah-satu sektor saja biasanya menimbulkan bahaya pada sektor lainnya.
Oleh karena itu organisasi keagamaan dihadapkan kepada salah-satu di antara dua pilihan: melestarikan kemurnian etik dan spiritualnya dengan risiko lingkungan pengaruh sosialnya terbatas, atau jika organisasi tersebut ingin berpengaruh kuat dalam masyarakat tertentu, mungkin risikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian dari cita-cita uatamanya sendiri.
Dilema pokok dalam organisasi keagamaan bisa dilihat lebih jelas apabila kita mengkaji salah-satu di antara manifestasi-manifestasinya yang penting, yaitu gerakan keagamaan. Gerakan keagamaan di sini berarti setiap usaha yang terorganisasi untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Gerakan-gerakan semacam itu pada umumnya melalui serangkaian tahap yang relatif teratur baik dan setelah fase-fase pengembangan yang pertama gerakan-gerakan tersebut biasanya jadi mantap hubungannya dengan agama-agama lain. Fase-fase yang lebih tenang dari gerakan-gerakan keagamaan semacam itu bisa menjadi sumber timbulnya gerakan-gerakan keagamaan berikutnya.
Fase pertama, suatu gerakan keagamaan dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya. Pada fase kedua, gerakan tersebut para pengganti si pendiri dipaksa untuk memecahkan dan menjelaskan masalah-masalah penting mengenai organisasi, kepercayaan, dan ritus yang dibiarkan tidak terurus selama si pendiri masih hidup. Pada tahap ini gerakan tersebut secara khas menjadi apa yang sekarang kita sebut dengan sebuah gereja : yaitu organisasi formal dari suatu kelompok pemeluk yang mempunyai kesamaan dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus bersama yang tetap terhadap benda-benda dan wujud-wujud sakral yang mereka sembah.
Sebaliknya, sekte, pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang anggota-anggotanya bergabung secara sukarela, biasanya orang-orang dewasa. Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok: yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan.
Denominasi (denomination) adalah kelompok yang relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Sedangkan Cult adalah suatu tipe kelompok keagamaan kecil yang dalam beberapa hal sama dengan sekte, meskipun keanggotaannya berbeda. Terkadang kepemimpinan cult bersifat kharismatik, informal, tidak tentu dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kota metropolitan yang relatif tidak dikenal bahkan kadang-kadang korup juga. Kepercayaan-kepercayaan cult sering menekankan salah-satu aspek tertentu dari ajaran Kristen. Meskipun tipe-tipe organisasi-organisasi keagamaan yang beraneka-ragam itu mungkin bisa hidup bersama dalam satu masyarakat, walaupun ada beberapa masyarakat yang sesuai ataupun tidak.
Bab VII Agama Dalam Masyarakat Amerika
Pembahasan disebutkan bermacam-macam ilustrasi yang diambil dari suasana Amerika. Tapi sejauh ini telah dibicarakan fungsi-fungsi, organisasi dan perubahan-perubahan pada sistem-sistem keagamaan dalam kerangka sosial dan historis yang lebih luas. Generalisasi sosiologis memerlukan prosedur ini-maksudnya, memerlukan pengkajian bermacam-macam masyarakat, kebudayaan dan agama. Nilai-nilai bangsa Amerika modern barangkali tidak begitu tampak berkaitan dengan agama.
Aktivisme, universalisme dan individualisme–tiga buah contoh aliran yang sangat mengesankan—boleh jadi paling tepat untuk dikemukakan sebagai contoh kecil dari nilai-nilai keagamaan yang melanda kehidupan bangsa Amerika.
Tipe organisasi keagamaan yang telah berkembang di Amerika Serikat, pada umumnya cocok dengan demoraksi politik dan industri kita. Kecocokan ini antara lain karena adanya dua unsur yang berhubungan dari lingkungan keagamaan di Amerika, kedua-duanya timbul sejak masa-masa pertama republik tersebut.
Situasi ini telah menimbulkan akibat-akibat besar, yang positif dan memungkinkan, bagi perkembangan demokrasi liberal. Gereja-gereja di Amerika terbuka terhadap masuknya pengaruh-pengaruh kuat dari sekulerisasi. Amerika Serikat sangat berbeda dengan Inggris, sebagai contoh, bahwa di sana suatu bentuk ecclesia baru sekurang-kurangnya mampu memanfaatkan kekuasaan pemerintahan dalam bidang-bidang pendidikan, rekreaksi, moral dan penyantunan.
Suatu sistem organisasi keagamaan yang majemuk serta pemisahan yang tegas antara gereja dan negara memperlemah kedudukan agama pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain. Mengenai organisasi keagamaan yang merefleksikan dan bukannya memberi warna kepada masyarakat Amerika tergambar dalam kesejajaran antara pembagian-pembagian kelas sosial dan berbagai denominasi yang ada.
Tingkatan sosial denominasi-denominasi keagamaan tersebut memang diakui sesuai dengan sistem kelas bangsa Amerika yang bersifat terbuka.
Perpindahan besar-besaran yang terjadi pada dasawarsa terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa masuk sejumlah besar masyarakat petani dari Eropa bagian selatan dan timur ke kota-kota kita yang telah padat, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang menganut agama-agama Katolik Romawi, Ortodoks Yunani dan juga agama Yahudi.
Secara organisatoris, beberapa di antara gereja-gereja ini sangat berbeda dengan aliran gereja Protestan di Amerika, suatu kenyataan yang kadang-kadang bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan di bidang politik maupun keagamaan.
Namun demikian pada sisi positifnya, ketegangan-ketegangan dan ketidakserasian-ketidakserasian dalam struktur sosial tersebut bisa dianggap sebagai dorongan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian secara kreatif yang kemungkinan timbulnya banyak variasi dalam struktur sosial tersebut.
Terdapat bukti bahwa sampai batas tertentu hal ini telah terjadi di Amerika Serikat dan bahwa upaya secara terus-menerus untuk menciptakan kesatuan dalam keanekaragaman dan ketertiban dengan kebebasan sangat mendukung bagi suatu eksperimentasi yang bermanfaat baik di bidang sosial maupun politik.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. trans. Abdul Muis Naharong. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1997.
http://aadany-khan.blogspot.com/2009/07/agama-dan-masyarakat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar