Jumat, 07 Agustus 2015

SOSIOLOGI PERKOTAAN
Sosiologi perkotaan ilmu ketatakotaan boleh dibilang sudah lama berkembang di Indonesia, namun tidak banyak buku yang coba merumuskan masalah perkotaan secara mendalam. Buku ini berargumen bahwa kota bukan sekadar tata-kota, melainkan kebudayaan.
Mempelajari tata-kota semestinya mencakup kajian sosio-historis suatu bangsa. Dalam buku ini Jo Santoso mengangkat kota Surabaya sebagai bahan telaah. Ia memperlihatkan bahwa pergantian tampuk kekuasaan tidak hanya berdampak di lapis politik, tapi bahkan sampai ke lapis tata-kota…… penulis saya kenal sebagai seorang yang amat peduli sekaligus kritis terhadap masalah-masalah perkotaan dan perumahan.
Pengetahuan dan referensinya yang luas membantu kita membuka wawasan terhadap kompleksitas masalah perkotaan dan lingkungan permukiman di Indonesia
anusia membuat sejarahnya mereka sendiri, tetapi mereka tidak melakukan itu hanya mereka suka, mereka membuat dalam kondisi-kondisi yang tidak mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi – kondisi yang telah ada, given dan ditransmisikan dari masa lalu. Tradisi generasi terdahulu menjadi beban-beban, seperti mimpi buruk dalam otak kehidupan”
(The Marx – Engels Reader, dalam Robert C. Tucker (ed). 1978 : 595)
Mejelaskan dinamika perkotaan melalui penafsiran dan persepsi kota dimata penduduknya yaitu pemaknaan pedagang terhadap formalisasi dan pemaknaan terhadap tempat berjualan, dimana status mereka telah berubah dari pedagang kaki lima menjadi pedagang kios yang disatukan dalam sebuah kesatuan ruang sosial yaitu pasar tradisional sebagai upaya membangun pendekatan sosiologi perkotaan neo-dualis.
Pendekatan neo-dualis sosiologi perkotaan meninjau penggunaan lahan kota baik sebagai “produk” maupun “proses” bukan persoalan sosiologi perkotaan secara khusus ataupun persoalan geografi, tetapi juga sosiologi secara umum. Kota dipandang sebagai suatu obyek studi dimana di dalamnya terdapat masyarakat manusia yang sangat kompleks, telah mengalami proses interelasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Lahan perkotaan sebagai produk dari interelasi penghuninya tercipta karena adanya keteraturan penggunaan lahan. Sedangkan dinamika kota sebagai proses merupakan bentuk artikulasi kelompok-kelompok yang mengalami proses interelasi yang sangat kompleks. Struktur ruang tidak dapat dikaitkan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat kota. Struktur ruang merupakan suatu produk sejarah yang harus dilihat sebagai kreasi agen-agen sosial atau aktor-aktor yang bersifat kolektif, interaksi, strategi, keberhasilan dan kegagalan agen-agen membentuk kualitas dan karakteristik ruang kota. Kota ada dan keberadaannya dirasakan melalui perlawanan, konflik, model, gaya hidup, dan lain-lain. Negara sebagai reprentasi kekuasaan memiliki karakter dominan dalam upaya merebut penggunaan lahan perkotaan, melalui reproduksi aturan sebagai bentuk sumberdaya kekuasaan.
Tidak netralnya sebuah ruang sosial perkotaan menjadikan apa yang sahih untuk suatu kota bisa jadi tidak relevan bagi kota lain. Karakter kota di suatu masyarakat lain atau pada periode sejarah yang lain. Sehingga dalam melakukan pendekatan dalam kota ialah dengan melupakan definisi-definisi yang berlaku secara umum dan memulai dari perspektif relativis, yaitu berkaitan dengan keanekaragaman kota itu, dan apa yang menjadi haknya. Perspektif ini amat dibutuhkan terutama bagi berbicara tentang perkotaan di Negara Berkembang. Tradisi perkotaan di Asia Tenggara saat ini adalah heterogenitas (keberagaman), orientasi keluar, dan amalgamasi, dan dalam perubahan yang terintergrasi ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana penduduk sebuah kota memahami apa yang terjadi di kotanya sendiri? Bagaimana ia dipengaruhi oleh proses modernisasi atau keterbelakangan kotanya, bagaimana reaksinya? Menjadi kajian yang menarik dalam upaya memahami dinamika perkotaan. Tradisi pemahaman kota seperti itu disebut sebagai ”Sosiologi Perkotaan Baru” yang dipelopori oleh Manuel Castells (1983) terutama karyannya berjudul ”The City and The Grass Roots”. Dalam kajian tentang gerakan sosial kota, Castells menganalisis kota sebagai kreasi warga. Fokus analisis dinamika perkotaan bukan pada ekologi perkotaan, melainkan penafsiran dan persepsi kota dimata penduduknya yang secara sosial telah mengkonstruksi kota tersebut lewat tindakan-tindakannya yang disertai oleh konsep-konsep dan penafsiran ini. Upaya ini mengandung upaya perspektif sejarah, dan memfokuskan pada gerakan sosial kota masa kini. Kota dibuat dan digeluti oleh penduduknya; tidak dalam bentuk kerjasama yang harmonis, melainkan melalui berbagai konflik antara pihak yang mendominasi dan mendesakkan pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang mereka dominasi.
Evers memetakan terdapat Lima macam Teori Klasik dan Neo Klasik tentang Urbanisasi (1) Teori-teori Demografis tentang Urbanisasi dan Migrasi. (2) Teori-teori mengenai sistem kota;(3) Teori-teori kultural kota;(4) Teori tentang diferensiasi ruang dan sosial serta segregasi (pemencilan) di perkotaan;(5) Teori-teori neo-dualis. Dengan karya penulisan ekonomi politik perkotaan Mazhab Prancis (Castells, Lojkine, rangkuman dalam versi bahasa Inggris ditulis oleh Pickvance 1976).Lihat, Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 15-17.
Struktur tata ruang kota sebagai sebuah produk tidak terlepas dari aspek sosiologis dari dinamika kehidupan suatu kota tersebut. Terdapat lima pendekatan yang dilontarkan untuk menyoroti penggunaan lahan suatu kota, meliputi: Pendekatan Ekologis, Pendekatan Ekonomi, Pendekatan Morfologi, Pendekatan Sistem Kegiatan, Pendekatan Ekologi Faktorial.Lihat., Hadi Sabari Yunus. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000. h. 2.
Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. 2000. op. cit., h. 1–18.
Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya). Kata antropologi, diambil dari bahasa Yunani anthropos (“human”) dan logia (“study”), sedangkan antropologi adalah “the study of man” atau “the study of humankind”. Kemudian distribusi dari (urban anthropology) antropologi perkotaan jelas mendukung sosio-kultural antropologi, bagaimana pun, mereka mengakui bahwa arkeologi telah memberikan kontribusi signifikan pada studi peradaban dan sistem spasial perkotaan. Istilah antropologi perkotaan mulai digunakan pada tahun 1960-an. Dengan perubahan difokuskan pada “urban anthropology” melawan tradisi antropologi yang menekankan pada “primitif” dan masyarakat petani, mengasingkan tentang perkotaan, kelompok dan masyarakat industri (Basham 1978). Kemunculan dari antropologi perkotaan juga diakibatkan oleh Perang Dunia ke-II dan proses dekolonisasi. Dalam pandangan para pakar urban anthropology, ketertarikan pada kota telah membenarkan tuntutan akan tradisi antropologi yang menaruh perhatian pada keseluruhan dan bermacam budaya manusia serta masyarakat. Secara teoritis, antropologi perkotaan melibatkan studi dari sistem budaya kota baik hubungan dari kota terhadap tempat-tempat yang luas dan kecil, serta penduduk sebagai bagian dari sistem perkotaan (Kemper
1996).

Di Amerika antropologi di bagi menjadi empat bidang: – Sociocultural anthropologyArchaeologyLinguistics (linguistik), studi mengenai bahasa; dan – Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi), studi mengenai fisiologi manusia. Atau secara tradisional antropologi telah dibagi ke dalam: (1) cultural anthropologysocial anthropology) atau etnologi (ethnology) berurusan dengan studi komparatif dari kebudayaan dan kemasyarakatan; (b) arkeologi (archeology) berurusan dengan rekonstruksi dari kehidupan manusia di masa lalu melalui analisa artifak dan benda peninggalan dari budaya yang punah; dan (c) anthropological linguistics (antropologi linguistik) merupakan studi bahasa sebagai cara kerja pertama dari komunikasi manusia. (2) physical anthropology (antropologi fisik/ragawi) adalah bersangkutan dengan evolusi spesies manusia, dan karakter biologis dari populasi manusia yang lalu dan sekarang.
(sosiokultural antropologi), studi mengenai adat-istiadat dan masyarakat; – (arkeologi), studi mengenai pra-sejarah manusia; – (antropologi budaya) yang terdiri dari beberapa sub-bidang: (a) antropologi sosial (

Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi, secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal. Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal. Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related): 1. as a physical structure (struktur fisiknya); 2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.

Sosiologi perkotaan
Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat: a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus; b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris; c. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya; d. Kepadatan penduduk; e. Ukuran jumlah penduduk; f. Warganya (relatif) mobility; g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan h. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya. Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur sosial.

Politik-ekonomi dari kota
Istilah dari “politik-ekonomi” menunjukkan adanya pengaruh dari kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat. Kekuatan politik dan ekonomi nampak menjadi pendorong utama dari aktivitas perkotaan. Dalam perspektif spasial sosial, kota merupakan produk dari faktor-faktor ekonomi, politik, budaya, dan geografi. Namun dari sudut pandang sosiologi perkotaan sesungguhnya adalah merupakan area studi interdisipliner, artinya bahwa bidang lain dari sosiologi memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita terhadap kota. Geografi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, antropologi, dan psikologi keseluruhan studinya mengenai beberapa aspek dari lingkungan perkotaan dan memberikan sumbangan pada kita, yaitu pengetahuan tentang lingkungan perkotaan. Tentu saja di dalamnya terdapat ‘dependent variable’ bagaimana kekuatan-kekuatan eksternal, yaitu variabel yang independent mempengaruhi lingkungan perkotaan: – pengaruh dari segregasi rasial dari sistem ekonomi di dalam kota; – pengaruh dari batas-batas geografi (pegunungan) terhadap perkembangan kota; dan – pengaruh dari kejadian sejarah (peperangan) terhadap perkembangan kota. Sedangkan karakter dari lingkungan perkotaan harus memenuhi: – Luas, secara kultural merupakan kelompok masyarakat yang heterogin; – Bukan area pertanian di mana bahan mentah diproses dari pada produksi; -Sebagai pusat administrasi, menampilkan fungsi-fungsi administrasi yang substansial untuk masyarakat yang luas; dan – Tingkat populasinya tinggi.

Antropolgi perkotaan sebagai kelompok sosial
Dengan sendirinya antropologi perkotaan dikenal melalui sosiologi perkotaan terutama dalam perspektif istilah yang berbeda: studi-studi sosiologi lebih difokuskan dalam issue penggalan (fragmented), antropologi perkotaan secara teoritis sedikit mengarah pada pendekatan holistik (Ansari & Nas 1983:2). Hal-hal yang mendorong berkembangnya sosiologi adalah: (1) konfrontasi dengan perubahan sosial yang hebat; (2) munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi; dan (3) keinginan manusia untuk membuat perubahan sosial dan kemajuan yang diorganisasikan secara sistematis. Beberapa definisi mengenai sosiologi: “Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial” (WF. Ogburn & MF. Nimkoff). “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kehidupan kelompok” (Roucek & Warren). “Sociology, the scientific study of human interaction” (James W. Vander Zanden 1979:626).
Dari tahun 1930-an sampai dengan 1950-an antropologi kebudayaan telah tumbuh dan lebih ditekankan pada studi masyarakat petani serta impaknya terhadap kota-kota dan kehidupannya (Redfield 1947). Perhatian yang lebih utama diberikan pada migrasi desa-kota, urban adaptation, etnik, dan kemiskinan (Lewis 1968; Hannerz 1969). Kemudian Fox (1977) mengidentifikasi lima perbedaan tipe dari kota, serta membahas hubungan kota dan masyarakat yang lebih luas terpancang di dalamnya. Akhirnya Basham (1978) menawarkan sebuah diskusi dari studi masyarakat perkotaan dan beberapa topik yang mempunyai hubungan.

Metodologi
Permasalahan yang paling utama pada antropologi perkotaan adalah aplikasi dua teknik pendekatan antropologi, yaitu partisipan-observasi dan holistik di dalam riset perkotaan. Teknik dari metode antropologi ditekankan pada suku (tribe) dan masyarakat perdesaan/petani di mana hal itu lebih terbuka dan memungkinkan untuk pengembangan hakekat hubungan personal setiap orang di masyarakat. Para pakar antropologi perkotaan diminta untuk memperluas pengetahuan dalam mengembangkan kemampuan dengan memasukkan materi-materi tertulis, survei, studi kesejarahan, novels (ceritera-ceritera), dan sumber-sumber lainnya. Tantangan dari para pakar antropologi perkotaan adalah untuk menata keseluruhan sumber materi yang berbeda dan untuk mencoba realitas kelompok yang lebih luas tanpa mengorbankan penjelasan dengan mengkarakterisasi etnografi dan antropologi secara umum. Dalam skala yang luas tujuan dari studi-studi antropologi perkotaan didominasi: – studi komparasi dengan komunitas tunggal (comparative study with single community); – studi dengan multi-komunitas (multy-community studies); – survei wilayah (regional survey); – analisa tingakat nasional (national-level analyses); – studi komparasi tingkat nasional (comparative multy-national studies); dan – studi teori dan metodologi secara umum (general theoritical and methodological studies).
Pada skala kecil tujuan studi antropologi perkotaan fokus utamanya: mengenai individu-individu di dalam sejarah kehidupannya, spesifikasi pada konteks masyarakat (seperti, marketplaces, gangs, shopping centers), unit-unit tempat tinggal, dan tempat kerja. (Kemper 1991b) Menurut Fox (1977), ada perbedaan tradisi dalam penelitian antropologi perkotaan dengan mempertahankan kontinuitas dengan antropologi tradisional dan metode-metodenya yang tidak memfokuskan pada perkotaan, tetapi ke dalam unit yang lebih kecil di dalam kota. Satu contoh, adalah antropologi mengenai kemiskinan kota (urban poverty). Kemudian Oscar LewisValentine 1968; Goode & Eames 1996).
memperkenalkan istilah “culture of poverty” (budaya kemiskinan), yang mana dipahami sebagai bentuk dari kehidupan yang muncul secara independen akibat hilangnya faktor ekonomi dan politik (

Antropologi dan urbanisme
Urbanisasi antropologi (migrasi desa-kota) berdiri saling memotong di antara kota dan desa. Bidang ini spesial kuat berkembang dalam penelitian di Afrika oleh para antropolog Inggris, dan studi di Amerika Latin oleh peneliti dari Amerika. Di sini penekanan dalam skala luas tergantung dari pergerakan fisik penduduk desa ke kota-kota dan adaptasi populasi dari imigran terhadap lingkungan barunya difokuskan mengenai perubahan struktur sosial, hubungan interpersonal dan identitas kolektif di dalam kota (Abu-Lughod 1962) Kecenderungan dari urbanisasi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk yang akan berurbanisasi akan bertambah di masa medatang. Untuk itu bidang antropologi kemungkinan akan memusatkan ke dalam antropologi perkotaan (Ansari & Nas 1983:6)

Anthropology in cities and anthropology of cities
Ada jarak di antara “antropolog yang melakukan riset dalam kota, tetapi tanpa banyak memahami konteks perkotaan; hanya menitik beratkan pada struktur kehidupan kota dan pengaruhnya dalam perilaku manusia atau silang budaya; dan mereka yang menitik beratkan pada perkembangan dari sistem internasional perkotaan melalui waktu dan ruang sebagai perbedaan wilayah sosial-budaya dan politik-ekonomi” (Kemper 1991b: 374). Antropologi perkotaan di tahun 1960-an dan 1970-an difokuskan pada issue khusus, sebagai contoh, migrasi, pertalian keluarga (kinship), kemiskinan, dan lain sebagainya. Di tahun 1980-an diperluas ketertarikan pada semua aspek dari kehidupan perkotaan (urban life). Di dalam prakteknya, antropologi perkotaan telah melebur pada bagian khusus dari geografi, ekologi, dan disiplin lainnya. Issue kontemporer dari antropologi perkotaan adalah: – Masalah perkotaan; – Migrasi desa-kota; – Adaptasi dan penyesuaian dari manusia dalam populasi lingkungan yang padat; – Efek dari penataan kota di atas pluralisme budaya dan stratifikasi sosial; – Hubungan sosial (social networks); – Fungsi dari paertalian keluarga; – Pertumbuhan dari kota; – Kejahatan (crime); – Perumahan (housing); – Arsitektur; – Transportasi; – Penggunaan dari ruang (use of space); – Pekerja (employment); – Infrastruktur; dan – Demografi/kependudukan.

Masyarakat kota sebagai community
Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi kelompok manusia; 2. menempati suatu wilayah geografis; 3. mengenal pembagian kerja ke dlam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; 4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; 5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan 6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural; Fringe (pinggiran);Town; dan Metropolis. Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: 1. pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; 2. organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; 3. lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; 4. suatu sistem perdagangan dan pertukangan; 5. mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan 6. berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.

Kriteria kota dan definisinya
Kota dapat berupa town (kota kecil) dapat city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain. Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city.

Perbedaan antara kota dan desa
PJM. Nas (1979) menjelaskan bahwa, (1). Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedesaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas; (2). Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak; (3). Struktur sosial di kota differensiasi yang luas, sedangkan di pedesaan relatif sederhana; (4). Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting; di pedesaan orang menghayati hidupnya terutama dalam kelompok primer; dan (5). Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme. Dunia Barat dalam Sosiologi Perkotaan membuat perincian objek studi sebagai pengkhususan: 1. kemiskinan dan ketergantungan; 2. salah adaptasi perorangan dan disorganisasi kepribadian; dan 3. kenakalan remaja dan kejahatan. Untuk mempelajari itu semua dicakup tiga pokok sebagai berikut: 1. persebaran keruangan dari gejala dan tempat tinggal para pelakunya; 2. studi khusus terhadap para pelaku kejahatan untuk mengetahui jenis dan dalamnya motivasi; dan 3. menstudi kejahatan yang diorganisasikan (termasuk parageng-nya).

Ciri-ciri struktur sosial kota
Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut: (a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; (b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; (c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; (d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; (e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; (f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; (g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan (h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Urbanisasi dan urbanisme
PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Konsep urbanisasi juga mencakup: pertumbuhan suatu permukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (dalam bentuk migrasi mutlak, atau ulang alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggi di kota. Istilah urbanisasi dalam garis besarnya mempunyai dua pengertian: pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Dengan demikian erat kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi serta transportasi modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala: 1. gejala peleburan kesatuan-kesatuan komuniti kecil menjadi kesatuan komuniti yang lebih besar; dan 2. gejala pe-massa-an masyarakat, sebagai ciri kebudayaan modern. Gejala pertama timbul karena daerah-daerah atau lingkungan masyarakat yang tadinya tertutup, terisolasi secara geografik maupun sosial-kultural, menjadi terbuka, sejalan dengan semakin meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Gejala kedua, pemassaan masyarakat terjadi karena dengan melalui sarana komunikasi dan tranportasi modern secara luas dan serentak dapat didistribusikan, dan diterima semua lapisan masyarakat, terlepas dari perbedaan kekayaan, pendidikan, dan tingkat sosial atau segi-segi lainnya. Proses urbanisasi tidak hanya proses difusi kebudayaan kota ke desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu sendiri. Karena dalam kenyataan di kota-kota (termasuk kota besar) dalam negara-negara berkembang masih terdapat “desa-desa” di dalamnya.

Kingsley Davis, membedakan urbanization dari growth of cities: yang pertama menyatakan proporsi dari penduduk yang tinggal di kota. Dapat saja terjadi pertumbuhan di kota tanpa terjadi peningkatan urbanisasi. Proses urbanisasi terbatas, yaitu sampai tercapai seratus persen, sedang pertumbuhan kota berjalan tanpa ada batasnya. Di negara-negara yang maju urbanisasi menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu proletariat kota (mereka yang gagal dalam social climbing), dan klas yang terdiri atas kaum lapisan sosial menengah (tukang dan pedagang). Di Inggris, urbanisasi berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Di sini muncul tiga fenomena secara bersamaan, yaitu ekspansi penduduk, pertumbuhan kota, dan perubahan industri. Industrialisasi di Barat dalam abad ke-19 dan yang terjadi di Asia Tenggara mempunyai trend yang lain: di Barat pendorongnya adalah revolusi teknologi, sedang di Asia Tenggara keparahan krisis ekonomi di pedesaan yang agraris. Sosiolog Louis Wirth, mengatakan makin besar tempat tinggal, makin padat penduduknya, makin heterogen manusianya, maka makin menonjol karakteristik masyarakatnya. Di samping itu Louis Wirth juga menjelaskan: (a) Urbanisasi menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas, dan anonimitas. Kota dapat menciptakan cara hidup yang berbeda, disebutkan dengan istilah Urbanism; dan (b) Luas (size), kepadatan (density), dan heterogenitas (heteroginity) merupakan variabel bebas yang menentukan urbanisme, atau gaya hidup kota. Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian orang, ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju impersonalitas dari masyarakat modern. Pada bagian lain, Georg Simmel mengupas impersonalitas dan melukiskan orang kota sebagai yang: (1) cenderung mencari privacy; (2) berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan khusus saja; dan (3) menilai segalanya dengan standar uang. Selain menimbulkan klas baru, urbanisasi juga menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru. Sedangkan Roe (1971), memandang gaya hidup kota modern memiliki tiga nivo kehidupan: (1) nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman dan tetangga; (2) nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja; dan (3) nivo kelompok berdasar peranan, ini bersifat anonim dan di situ terdapat interaksi misalnya, antara pribumi dan orang asing, si kaya dan si miskin.

Migrasi desa-kota dan pertumbuhan kota
Di Eropa, penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk ke kota telah benar-benar pindah dari cara hidup desa ke tradisi perkotaan di mana mereka telah bermigrasi. Meninggalkan wilayah desa masuk ke kota yang terorganisir, terjadi setelah adanya faham dari luar, hal ini sebagai akibat dari kolonialisme Eropa. Dalam artikel “The Cultural Role of Cities,” Redfield & Singer mengatakan, istilah primary urbanization and secondary urbanization digunakan untuk membedakan antara: – perkembangan kota sebagai natural outgrowth (hasil alami) dari tradisi-tradisi yang menjadi bagian mereka (primary urbanization); serta – dan peradaban atau pra-peradaban masyarakat jelata (folk society) dari tradisi-tradisi perkotaan sebagai hasil pengaruh dari luar (secondary urbanization).

Cityward migration: the “push” factor
Bahwa yang permulaan mendiami kota, adalah kaum migran yang telah “ditekan” untuk meninggalkan tempat tinggal di desa atau kota-kecil, sebagai akibat dari faktor kesukaran ekonomi, dari pada “tarikan” oleh kesempatan kerja di kota. Beyond push and pull cityward migration as a multidimensional phenomenon. Meningkatnya urbanisasi di dunia dapat di analisis dari: 1. tipe dari urban migration; dan 2. kebudayaan, ekonomi, dan motivasi personal dari pergerakan penduduk. Variasi dari migrasi ke kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Hackenberg & Wilson): – sedentary, pola pergerakan individu terutama dibatasi pada wilayah tempat tinggalnya, yang kadang-kadang mengunjungi lokasi-lokasi ritual dan seremonial; – circulatory, pola pergerakan individu dilakukan paling tidak sekali, atau beberapa kali, pada urban setting untuk periode yang panjang, tetapi mereka tetap tinggal di tempat komunitasnya; – oscillatory, mereka telah meninggalkan tempat asalnya untuk periode yang panjang dan kembali ke tempat asalnya, namun tidak menetap di tempat asalnya, karena sudah menetap di kota secara permanen; dan – linear, imigran benar-benar migrasi dari desa ke kota dengan pengertian mereka meninggalkan tempat asalnya dan tidak pernah kembali. Secara umum, bagi siapa yang meninggalkan tempat tinggalnya, adalah untuk mencari pekerjaan di kota mengikuti teman atau saudara dari tempat asalnya, tujuannya mendapatkan pekerjaan dan tempat untuk hidup. Kejahatan, sakit jiwa, dan permasalahan sosial: – nutrition and diabetes; – urban psychopathology; – juvenile delinquency (kejahatan remaja); – prostitution; dan – political corruption.

Kemiskinan di perkotaan
Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya (Oscar Lewis). Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: – kemiskinan yang bersifat kultural; – kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan; dan – orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya. Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan (Johnstone): a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunna perumahan liar mengikuti permainan ekonomi; b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit; d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah; dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.

Peradaban kota
Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington). Di samping hal itu, Franz Boas mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu. Antropolog Malinowski (1944), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual: pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum. Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Dia berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban: – budaya, yang dominan nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral. (Yunani kuno sebagai budaya); dan – peradaban: yang dominan nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material. (Romawi kuno sebagai peradaban) Spengler menyebut Zivilization (peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya.

Sikap manusia terhadap kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu: Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak goblok atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng. Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang. Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang. Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju.
Hal ini didukung pula oleh pendapat dari Paul Tillich, yang mengatakan bahwa justru dengan kehadiran mereka kita menjadi lebih menarik karena menawarkan hal-hal serba baru dan aneh. Arsitek Eliel Saarinen mengatakan, bagaimana pun, perkembangan fisik dan mental manusia banyak tergantung dari corak lingkungan tempat ia dibesarkan sejak bayi, dan bertempat tinggal serta bekerja sebagai orang dewasa.
Diposkan oleh EKO RATNO PRIHANTORO
http://ekoratnoprihantoroindonesia.blogspot.com/2009/06/pemahaman-tentang-sosio-antropologi.html
Isu megapolitan pernah menjadi pembicaraan yang sangat hangat di beberapa bulan lalu, meskipun sampai saat ini isu tersebut sudah hampir tidak terdengar lagi namun pembahasan mengenai isu sendiri belum hilang sama sekali. Jakarta yang selama ini didefinisikan sebagai kota Metropolitan mengalami beberapa permasalahan dalam pengelolaan kota seperti transportasi, peruntukan ruang hijau dan komersil termasuk juga permasalahan dalam pengelolaan limbah/ sampah. Disinyalir beberapa masalah dalam pengelolaan kota ini lah yang akhirnya dikeluarkan sebuah konsep megapolitan dalam pengelolaan kota untuk menggantikan konsep metropolitan yang sudah dianggap tidak layak lagi. Konsep Metropolitan Jakarta yang sebelumnya adalah Jabotabek (dimana Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai kota penyangga Jakarta/ kota satelit) maka akan berubah menjadi Megalopolitan Jakarta dengan Jabodetabekjur (dengan penambahan kota satelit baru yaitu Depok dan Cianjur). Sehingga pertanyaan adalah apakah konsep ini sangat ideal dalam sistem pengelolaan kota ? Dan bagaimana isu Konsep Megapolitan (Jabodetabekjur) bila dikaitkan dengan Otonomi Daerah ?. Hal inilah yang sangat menarik untuk perlu dilakukan sebuah tinjauan maupun kajian lebih khusus.
Perlukah Konsep Megapolitan ?
Jakarta secara historis diwarnai oleh sebuah perjuangan yang sangat panjang yang dimulai sejak tanggal 22 Juni 1527 pada saat Fatahillah berhasil mengalahkan armada asing Belanda dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sedangkan landasan hukum secara konstitusional dan yuridis adalah dengan adanya Undang Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Ibukota yang diatur dengan tersendiri karena memiliki kedudukan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang terdapat di dalam pasal 18 B UUD NKRI 1945, meskipun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18, 18A, 18B UUD 1945 jo pasal 227 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Perkembangan kota Jakarta sebagai ibukota mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari tingkat proses urbanisasi (dari kota kecil menjadi kota sedang, kota besar, selanjutnya metropolitan) yang pernah dialami Jakarta. Urbanisasi merupakan proses sosial penciptaan sistem dinamis yang dikenal sebagai kota. Urbanisasi ini meliputi perubahan penduduk, proses produksi, dan lingkungan sosio-politik-ekonomi pedesaan yang bersifat padat karya ke ekonomi kota yang terkonsentrasikan dengan spesialisasi produksi, teknologi relatif tinggi dan penuh kewiraswastaan.[1] Faktor penyebab tingginya tingkat urbanisasi Jakarta juga disebabkan dengan kaburnya definisi konsep dengan adanya dikotomi antara kota pusat (Jakarta) dan kota penyangga/ kota Satelit (Botabek).
Kota satelit didefinisikan sebagai permukiman baru berskala besar dibangun dalam jarak jangkau pulang pergi dari orbit metropolitan untuk menampung kebutuhan pertumbuhan masyarakat kota metropolitan.[2] Dengan demikian maka kota satelit masih memiliki hubungan dan komunikasi dengan kota pusat, baik hubungan melalui kebijakan dan kerjasama yang konkret diantara keduanya. Kenyataannya hubungan konkret yang ada memang juga masih bersifat sektoral baik kebijakan maupun implementasinya. Seharusnya dari hubungan tersebut menguntungkan keduanya, tetapi kenyataannya kota pusat masih berperan sebagai penentu kebijakan yang lebih dominan kepada kota penyangga/ satelit Jakarta. Hubungan yang terlihat jelas bahwa Jakarta memerlukan Bekasi sebagai lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah/ limbah di Bantar Gebang (Jakarta dapat di analogikan sebagai rumah tanpa wc). Disamping beberapa kasus-kasus lainnya. Jelas bahwa esensi dari kota satelit selama ini hanya sebagai pelengkap dari pemenuhan kebutuhan kota pusat secara fungsional, hubungannya hanya sebatas itu. Padahal kota pusat sendiri sebenarnya sangat bergantung kepada kota satelit. Bogor dengan kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) sangat berperan besar sebagai resapan air, dengan semakin banyaknya lahan terbangun di kawasan tersebut maka Jakarta sering mendapat banjir kiriman. Semua masalah ini lebih karena tidak ada koordinasi yang baik diantara keduanya. Sedangkan Tangerang sampai saat ini dapat dikatakan sebagai dorminitory town terlihat dari jumlah kemacetan yang terdapat di ruas-ruas jalan di perbatasan wilayah setiap harinya disebabkan masih banyaknya yang bekerja di Jakarta (commuter), juga merupakan masalah yang dihadapi Jakarta. Sehingga selama ini implementasi mengenai konsep kota utama dengan kota satelit lebih merupakan dominasi kota pusat dengan pemenuhan pelayanan kebutuhan penduduk kota pusat dari beberapa sumberdaya yang terdapat di kota satelit. Hubungan kota pusat dengan kota setelit ini yang harus ditinjau dan dikaji ulang.
Mengingat dengan banyaknya permasalahan di Metropolitan Jakarta maka dikeluarkan konsep Megalopolitan untuk memecahkan masalah. Pertanyaannya apakah bisa efektif ? Dan apakah konsep ini dibuat hanya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi Jakarta secara parsial ? Serta bagaimana koordinasi dengan wilayah satelit lainnya mengingat dengan konsep Jabotabek saja Jakarta masih mengalami masalah.
Konsep Megapolitan sendiri tidak terdapat dalam kepustakaan disiplin ilmu yang terkait dengan perkotaan seperti planologi, sosiologi perkotaan, antropologi perkotaan yang terdapat dalam beberapa kepustaan tersebut adalah Megalopolis. Dimana Megalopolis adalah konsep yang mengintegrasikan wilayah metropolitan dan mikropolitan diterapkan untuk mengkoordinasikan perencanaan tata ruang wilayah lintas batas administrasi digunakan oleh berbagai kota di dunia untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kota, mengendalikan pusat pusat pertumbuhan dan perencanaan berkelanjutan.[3]
Dengan adanya konsep Megalopolitan maka Jakarta jelas tetap menjadi kota pusat dan sebagai kota utama yang mengatur wilayah kota satelit (dalam teori diatas disebut kota mikropolitan) lainnya. Terlihat jelas konsep Megalopolitan dicetuskan agar Jakarta sebagai kota metropolitan dapat semakin memiliki infrastrukstur baik sarana dan prasarana, akses yang lebih besar bagi pemenuhan kebutuhan warga di kota yang lebih baik, nyaman, bahkan lebih murah dan pastinya berbanding terbalik dengan kondisi kota satelit yang secara kebijakan/ aspek politis akan dibuat undang-undang yang prioritasnya untuk melayani kota Jakarta sebagai pusat. Apabila konsep megalopolitan dikeluarkan dengan maksud seperti ini maka konsep ini tidak lebih adalah sebuah aneksasi, proses pencaplokan wilayah lain untuk pemenuhan kota pusat. Dengan aneksasi tersebut maka jelas kota Jakarta sebagai pusat dominasi yang mengatur dan menyedot arus migrasi dan urbanisasi kota satelit baik dalam berbagai bahan mentah dan uang dari wilayah sekitarnya. Di sisi lain maka terdapat perubahan budaya di wilayah kota satelit karena terlalu berorientasi di kota pusat. Singkatnya selain adanya ketimpangan perbedaan dan kesempatan untuk memperoleh keuntungan ekonomi antara kota pusat dan kota satelit selain itu arus dan tingkat urbanisasi ke Jakarta akan semakin meningkat. Dampaknya bagi Jakarta adalah kepadatan penduduk, kemiskinan, kekumuhan semakin tinggi, dengan semakin bertambah banyaknya komunitas kumuh dan kelompok marjinal di berbagai penjuru kota Jakarta yang berada di bawah tingkat kesejahteraan dan nilai kualitas hidup yang layak.
Jakarta semakin tidak manusiawi dengan tidak meratanya alokasi ketersediaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja yang ada terutama dalam kompetisi persaingan hidup yang semakin tidak manusiawi. Dengan adanya beberapa hal tersebut bahkan konsep megalopolitan bukan hanya merugikan wilayah kota satelit juga akan membuat masalah baru dan yang lebih besar dampaknya bagi Jakarta.
Kemandirian
Pelaksanaan Otonomi Daerah sampai saat ini sudah berjalan selama 6 tahun yaitu dengan adanya Undang Undang No. 22/ Thn 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang Undang No. 25/ Thn 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara garis besar dari undang undang otonomi daerah adalah pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terutama kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Otonomi daerah juga adalah sebuah definisi dari local autonomy yang hakekatnya adalah otonomi masyarakat setempat yang terdapat dalam wilayah/ teritori dalam lingkup pemerintahan yang bersifat lokalitas.[4] Berkaitan dengan ini maka masyarakat setempat memiliki kemampuan dalam membangun kemandirian/ membangun dirinya sendiri. Selain juga mendorong untuk memberdayakan masyarakat dengan menumbuhkan prakarsa, kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat seperti yang terdapat dalam butir e UU No.22 tahun 1999 pada bagian Penjelasan Umum.
Dengan adanya undang undang otonomi itu juga membuka peluang bagi kota dan kabupaten untuk dapat berkembang lebih pesat sesuai karakteristik dan ciri khas wilayah kota/ kabupaten secara geografis. Sehingga diharapkan pengelolaan, pelayanaan, pembuatan fasilitas sarana prasarana kota lebih dapat berjalan secara inklusif dan sesuai dengan kebutuhan warga kota bersangkutan (pendekatan progressif dan bottom up) yang dilakukan oleh pemerintah kota tersebut. Sehingga kesejahteraan dan keadilan dalam segala aspek menjadi kata kunci pencapaian dari implementasi undang undang otonomi daerah.
Sesuai UUD 1945 dan mengikuti azas desentralisasi maka wilayah Indonesia telah terbagi dalam masing masing wilayah administrasi pemerintahan propinsi. Dan selanjutnya secara berjenjang maka masing masing propinsi terdiri atas kabupaten dan kota. Kabupaten yang secara yuridis masyarakatnya bersifat pedesaan dan kota yang secara yuridis masyarakatnya bersifat perkotaan dibawahnya mempunyai sejumlah kecamatan, dan terakhir jenjang terbawah dari administrasi daerah adalah desa atau kelurahan.[5]
Secara sosiologis sebagian dari masyarakat kabupaten juga sudah bersifat perkotaan seperti masyarakat Ciputat, Bumi Serpong Damai (BSD), Bintaro Jaya, Lippo Karawaci yang terdapat di Kabupaten Tangerang. Sehingga pelayanan masyarakat yang bersifat perkotaan itu dilayani oleh struktur pemerintahan kelurahan dan juga kabupaten yang berorientasi pada masyarakat perdesaan. Dengan adanya Undang Undang Otonomi No. 22 Tahun 1999 yaitu pada pasal 126 (2) maka beberapa desa telah dapat dikonversi/ dirubah statusnya menjadi kelurahan dengan acuan agar pelayanan terhadap masyarakat yang bersifat perkotaan di wilayah kabupaten tersebut dapat dilakukan dengan struktur pemerintahan yang berorientasi perkotaan.
Di dalam Undang Undang No. 22 Tahun 1999 pada pasal 90 juga terdapat identifikasi 4 jenis kawasan perkotaan. Pertama, kawasan perkotaan yang sudah berstatus kota. Kedua, kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari kabupaten (bisa kelurahan atau kecamatan), Ketiga kawasan perkotaan yang baru dan merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi perkotaan di kabupaten. Keempat, kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah otonom yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.
Jakarta seperti yang ditulis di bagian sebelumnya adalah sebuah kota metropolitan dan kota pusat yang sangat dominan terhadap kota satelit di sekitarnya. Hal ini selain dikarenakan dengan adanya konsep kota pusat dan satelit juga karena Jakarta yang difungsikan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Dampak dari kebijakan ini maka kota kota lainnya tidak memiliki/ kebagian peran dan bahkan tidak mampu berperan terutama untuk lingkungan geografisnya dan secara lokalitas administratifnya sendiri.
Pemberian otonomi daerah dengan adanya migrasi yang cukup besar maka jelas akan sangat menguntungkan apabila dilihat dari infrastruktur dan skala ekonomi, meskipun demikian juga tidak dapat dihindari beberapa dampak negatif seperti peningkatan pencemaran udara, terjadinya degradasi lingkungan, kemacetan lalu lintas sehingga menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dalam pengelolaan kota.
Dalam perspektif otonomi daerah maka konsep megalopolitan adalah pusat administratif dari wilayah administrasinya. Jakarta sebagai pusat administratif sedangkan Bodetabekjur adalah wilayah administrasinya. Hampir tidak ada bedanya dengan dikotomi konsep kota pusat dan satelit. Dimana pendominasian kota secara administratif terutama yang berstatus ibukota propinsi, kabupaten, dan kecamatan adalah pusat pendominasian wilayah administrasinya dan karena itu menjadi orientasi dari wilayah wilayah di sekitarnya melampaui batas batas wilayah administrasi pemerintahannya
Pembangunan dan pengelolaan kota jelas memiliki lingkup wilayah yang luas karena tidak hanya menyangkut pembangunan wilayah kota tersebut (parsial) tetapi juga terkait dengan wilayah sekitarnya atau keterkaitan antar kota dalam sistem kota, baik kota maupun kabupaten. (komphrehensif). Dalam hal ini lah ada beberapa yang sedikit berbeda antara konsep otonomi yang membuka peluang untuk akses kemandirian kota atau konsep kota dengan pendekatan komphrehensif hubungan kota dengan hinterlandnya, kota pusat dengan kota satelit, kota dengan desa. Seperti konsep Jakarta yang sebelumnya Metropolitan-Botabek menjadi Megalopolitan-Bodetabekjur jelas sebuah konsep yang komphrehensif namun juga tidak bisa kita bantah bahwa konsep ini dengan Jakarta tetap sebagai kota pusat administratif maka akan menghambat upaya peluang peluang menuju kemandirian kota kota (otonomi kota) satelit disekitarnya. Hal inilah yang sangat dilematis. Sedangkan Undang Undang Otonomi Daerah no. 22 Tahun 1999 di dalam butir I (5) sangat tegas menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom.
Tanggapan atas konsep Megapolitan Jakarta
________________________________________
[1] Sukanto Reksohadiprodjo, “Ekonomi Perkotaan” Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Yogyakarta 1994, hal 93[2] ——–“Kamus TaTa Ruang”, Disiapkan dalam rangka Lokakarya Kamus Tata Ruang. 18-19 Maret 1997. Direktorat Jendral Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum, hal 56.
[3] Suparlan, Parsudi.”Megalopolis: Sebuah Peluang VS Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat”. Seminar Why Megalopolis ?. Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia. 2006
[4] Hoessein, Benyamin. “Optimalisasi Konsep Otonomi Daerah Bagi Pemerintah Kota”. Seminar Urban Management. Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia. 2003.
[5] Kansil dan Kansil.”Kitab Undang-Undang Otonomi Daerah 1999-2001”. Jakarta. 2001
http://chrispoerba.wordpress.com/2009/07/04/konsep-megalopolitan-di-era-otonomi-daerah-absurd/
Cara Mudah Merawat Flashdisk Anda
Posted Min, 06/06/2010 - 21:53 by mokhslamethidayat
 Berikut ini ada sembilan cara merawat Flashdisk kesayangan Anda. Tips ini berguna untuk mengamankan data-data penting Anda yang tersimpan di dalam Flashdisk dan juga membantu menjaga dompet Anda tetap sehat.
1. Jauhkan dari medan magnet yang kuat. Barang2 elektronik seperti TV dan handphone sangat tidak baik untuk flashdisk. Untuk itu jangan pernah menyimpannya di dekat barang-barang sejenis yang memiliki kekuatan magnet yang besar. Terkadang kita sering lupa jika meletakkan flashdisk dan handphone di tempat yang sama di dalam tas. Nah, mulai sangat ini kalau ingin flashdisk Anda berumur panjang, jangan lagi menyimpannya di tempat yang sama.
2. Jangan terkena air. Walaupun ada beberapa produsen flashdisk yang mengklaim bahwa produknya waterproof (tahan air), menjauhkan flashdisk dari sentuhan air tetap saja menjadi langkah yang paling aman. Daripada datanya hilang atau flashdisk-nya mengalami kerusakan, sehingga lebih baik jangan ambil resiko untuk hal ini.
3. Melakukan scanning virus. Pada saat pengambilan data atau pemindahan data dari PC ke flashdisk, sangat mungkin bukan hanya data yang ikut berpindah, tetapi juga virus-virus yang terdapat dalam komputer. Terlebih apabila kita mengambil dan menyimpan data dari internet, flashdisk bisa dipenuhi dengan virus-virus yang sangat mengganggu. Jadi jangan lupa melakukan scanning virus secara berkala dengan perangkat lunak antivirus yang paling baru.
4. Lakukan proses eject dan stop. Selalu lakukan proses eject dan stop sebelum mencabut flashdisk dari port usb komputer Anda. Selain bisa menjadikan flashdisk Anda rusak secara fisik, tidak melakukan proses eject dan stop juga dapat mempengaruhi kerusakan pada data-data yang ada di dalamnya.
5. Jauhkan dari tempat yang panas. Semua barang elektronik tidak terkecuali flashdisk sangat rentan dengan yang namanya panas, apalagi bila terkena matahari langsung. Jadi usahakan tidak menyimpannya di tempat yang panas dan terkena sinar matahari langsung, misalnya meninggalkan flashdisk di mobil.
6. Hindari dari benturan yang keras. Flashdisk yang terkena benturan keras, seperti jatuh berkali-kali memiliki resiko besar untuk kehilangan data atau akan mengalami kerusakan secara fisik. Jadi harus berhati-hati memegangnya jangan sampai jatuh di tempat yang keras.
7. Usahakan agar selalu tertutup. Udara dan lingkungan kita penuh dengan kotoran dan debu. Jika flashdisk kita kotor maka dapat mengakibatkan proses baca tulis sering gagal. Sehingga apabila tidak sedang dipakai, usahakan agar selalu tertutup agar tidak kotor.
8. Minimalisir proses hapus tulis (write and delete). Sama seperti kita, flashdisk juga memiliki usia. Artinya suatu saat flashdisk kita bisa mati dan tidak bisa digunakan lagi. Usia flashdisk berbeda-beda, tergantung kualitas flashdisk itu sendiri. Biasanya usia flashdisk antara 10.000 – 100.000 kali proses hapus tulis. Jadi usahakan untuk meminimalisir proses tersebut dan juga jangan melakukan editing langsung dari flashdisk. Atau jika Anda memiliki data yang banyak dan ingin meng-copy data tersebut ke dalam flashdisk, lebih baik data-data tersebut dikompres menjadi satu terlebih dahulu dengan menggunakan program yang sudah ada seperti Winzip, WinRar, atau program lain yang sejenis.
9. Berilah gantungan seperti gantungan kunci pada flashdisk Anda. Ini sangat berguna agar Anda tidak tidak lupa dimana menyimpannya, karena bentuknya yang relatif kecil. Juga berguna untuk membantu tangan dalam memegang flashdisk yang ukurannya sangat kecil.
sumber: gugling

PEMANASAN GLOBAL

Pemanasan global


Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada temperatur rata-rata dari 1940 sampai 1980



Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.



Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.



Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air lautdiperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.



Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.



Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.



Daftar isi 

1 Penyebab pemanasan global
1.1 Efek rumah kaca
1.2 Efek umpan balik
1.3 Variasi Matahari
2 Mengukur pemanasan global
3 Model iklim
4 Dampak pemanasan global
4.1 Iklim Mulai Tidak Stabil
4.2 Peningkatan permukaan laut
4.3 Suhu global cenderung meningkat
4.4 Gangguan ekologis
4.5 Dampak sosial dan politik
5 Perdebatan tentang pemanasan global
6 Pengendalian pemanasan global
6.1 Menghilangkan karbon
6.2 Persetujuan internasional
7 Lihat pula
8 Referensi
9 Pranala luar

Penyebab pemanasan global

Efek rumah kaca


Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.



Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.



Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.


Efek umpan balik


Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.



Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]



Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.



Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.



Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]


Variasi Matahari


Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari


Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]



Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.



Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]


Mengukur pemanasan global


Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa



Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.



Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.



Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.



Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.



Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.



IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]



Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.


Model iklim


Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan (pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.



Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim global


Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.



Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.



Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.



Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]



Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.


Dampak pemanasan global


Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.


Iklim Mulai Tidak Stabil


Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.



Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.


Peningkatan permukaan laut


Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.



Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.



Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.



Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.


Suhu global cenderung meningkat


Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih heb



Gangguan ekologis



Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.


Dampak sosial dan politik


Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.



Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)



Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.


Perdebatan tentang pemanasan global


Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.



Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.



Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.



Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]



Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.


Pengendalian pemanasan global


Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.



Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.



Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.


Menghilangkan karbon


Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.



Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.



Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.


Persetujuan internasional
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto


Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.



Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.



Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.



Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.



Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.



Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.


Lihat pula
Gas rumah kaca
Protokol Kyoto
Globalisasi

Referensi
^ a b c d Summary for Policymakers. (PDF) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 2 Februari 2007
^ NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007.
^ a b Soden, Brian J., Held, Isacc M. (01-11-2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled Ocean-Atmosphere Models" (PDF). Journal of Climate 19 (14) Diakses pada 21 April 2007.
^ Stocker, Thomas F.; et al. 7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 11 Februari 2007
^ Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare, J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl, D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S. Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone." Science 316: 567-570.
^ Marsh, Nigel, Henrik, Svensmark (November 2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" (PDF). Space Science Reviews 94: 215-230. DOI:10.1023/A:1026723423896 Diakses pada 17 April 2007.
^ Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12). Diakses pada 8 Mei 2007
^ Hegerl, Gabriele C.; et al. Understanding and Attributing Climate Change. (PDF) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 20 Mei 2007 Kutipan: Recent estimates (Figure 9.9) indicate a relatively small combined effect of natural forcings on the global mean temperature evolution of the seconds half of the 20th century, with a small net cooling from the combined effects of solar and volcanic forcings
^ Ammann, Caspar, et al. (06-04-2007). "Solar influence on climate during the past millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 104 (10): 3713-3718.
^ Scafetta, Nicola, West, Bruce J. (09-03-2006). "Phenomenological solar contribution to the 1900-2000 global surface warming" (PDF). Geophysical Research Letters 33 (5). DOI:10.1029/2005GL025539. L05708 Diakses pada 8 Mei 2007.
^ Stott, Peter A., et al. (03-12-2003). "Do Models Underestimate the Solar Contribution to Recent Climate Change?". Journal of Climate 16 (24): 4079-4093. DOI:10.1175/1520-0442(2003)016%3C4079:DMUTSC%3E2.0.CO;2 Diakses pada 16 April 2007.
^ Foukal, Peter, et al. (14-09-2006). "Variations in solar luminosity and their effect on the Earth's climate.". Nature Diakses pada 16 April 2007.
^ Changes in Solar Brightness Too Weak to Explain Global Warming. National Center for Atmospheric Research. Diakses pada 13 Juli 2007
^ Lockwood, Mike, Claus Fröhlich. "Recent oppositely directed trends in solar climate forcings and the global mean surface air temperature". Proceedings of the Royal Society A. DOI:10.1098/rspa.2007.1880 Diakses pada 21 Juli 2007.
^ http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4-syr.htm
^ Hansen, James Climatic Change: Understanding Global Warming. One World: The Health & Survival of the Human Species in the 21st Century. Health Press. Diakses pada 18 Agustus 2007
^ Summary for Policymakers. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 28 April 2007
^ Torn, Margaret, Harte, John (26-05-2006). "Missing feedbacks, asymmetric uncertainties, and the underestimation of future warming". Geophysical Research Letters 33 (10). L10703 Diakses pada 4 Maret 2007.
^ Harte, John, et al. (30-10-2006). "Shifts in plant dominance control carbon-cycle responses to experimental warming and widespread drought". Environmental Research Letters 1 (1). 014001 Diakses pada 2 Mei 2007.
^ Scheffer, Marten, et al. (26-05-2006]]). "Positive feedback between global warming and atmospheric CO2 concentration inferred from past climate change.". Geophysical Research Letters 33. DOI:10.1029/2005gl025044 Diakses pada 4 Mei 2007.
^ Stocker, Thomas F.; et al. 7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 4 Maret 2007
^ a b Hart, John. "Global Warming." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Pranala luar
Global Warming Information from the Ocean & Climate Change Institute, Woods Hole Oceanographic Institution
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
[1] Draft of 4th IPCC Report 2007 (news story)
IPCC Third Assessment Report dipublikasikan 2001
Climate Change 2001: Working Group II: Impacts, Adaptation and Vulnerability
A summary of the above IPCC report - oleh GreenFacts
NASA's Global Hydrology and Climate Center
Mauna Loa Observatory, Hawaii - Hasil pengukuran terakhir CO2
Peta dan grafik pemanasan global dari Program Lingkunag PBB GRID-Arendal
NOAA's Global Warming FAQ
RealClimate - Blog para ilmuan tentang iklim
National Center for Atmospheric Research - Penelitian NCAR tentang perubahan iklim
Potsdam Institute for Climate Impact Research
Pew Center on Global Climate Change — ilmu dasar
NOAA ESRL Global Monitoring Division
Global Warming Site, U.S. Environmental Protection Agency
Final Report of U.S. Climate Change Science Program
Melting lakes in Siberia emit greenhouse gas
Danish National Space Centre: SKY Experiment
Climate Change: Discovery of Global Warming
IPCC report Climate Change 2007: The Physical Science Basis, Feb 2007
Apa Kata PBB & Tokoh PBB Tentang Pemanasan Global: Solusi Terbaik Pemanasan Global
Kategori: Atmosfer | Perubahan iklim | Masalah ekonomi