Tampilkan postingan dengan label agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agama. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Agustus 2015

SEJARAH FMKI (FORUM MASYARAKAT KATOLIK INDONESIA)

CATATAN SINGKAT SEJARAH KRONOLOGIS
FORUM MASYARAKAT KATOLIK INDONESIA

Pada 30-31 Mei 1998 diselenggarakan Pertemuan Eksponen Umat Katolik Regio Jawa di Muntilan. Pertemuan tersebut menelorkan Deklarasi Muntilan “Membangun Indonesia Masa Depan”. Deklarasi Muntilan tersebut merekomendasikan didirikannnya Komite Nasional Umat Katolik Indonesia. Gagasan ini disambut positif oleh para tokoh dan umat Katolik Indonesia.
Pada 12-15 Agustus 1998 diselenggarakan Sarasehan di Jakarta mengenai “Keterlibatan Umat Katolik dalam Kehidupan Sosial Politik – Visi, Tantangan, Kemungkinan”. Sarasehan tersebut pada tgl. 15 Agustus 1998 mendeklarasikan Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI).
Selanjutnya FMKI menyelenggarakan Pertemuan Nasional setiap tahun:

PERTEMUAN NASIONAL I FMKI di Yogyakarta, 28-30 Juli 2000, mengolah tema “Peranan Awam Katolik dalam Gerakan Sosial Politik Menuju Masyarakat Indonesia Baru”
PERTEMUAN NASIONAL II FMKI di Bali, 13-15 Juli 2001, mengolah tema “Menumbuhkan Otonomi Masyarakat Daerah dalam Kerangka Persatuan Bangsa”;


PERTEMUAN NASIONAL III FMKI di Palembang, 18-21 Juli 2002, mengolah tema “Meningkatkan Partisipasi Masyarakat untuk Memperkuat Negara Bangsa” dengan sub-tema:
• Meningkatkan partisipasi politik umat melalui penguatan komunitas basis
• Meningkatkan kedewasaan bermasyarakat melalui kesadaran terhadap perbedaan agama dan bernegara.
Dalam Pernas tersebut FMKI mendesak Pemerintah untuk mencabut Dua SKB.
FMKI menolak paradigma kehidupan politik yang hanya mementingkan golongan tertentu saja. Pelayanan publik harus bersifat adil untuk semua golongan masyarakat.
Untuk itu, FMKI mendesak pemerintah mencabut SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional Tahun 1999 dan SKB Mendagri dan Menteri Agama No. 1 Tahun 1979 tentang Pendidikan Rumah Ibadah.
Konsorsium Sosialisasi Ajaran Sosial Gereja (FMKI Wil. Jawa Tengah dan DI Yogyakarta bersama dengan Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan KAS) menerbitkan buku “Sosialisasi ASG, Pergumulan Kesadaran Sosial Menuju Gereja yang Berkeadilan” (2002). Buku tersebut diterbitkan dalam rangka menjadikan bulan Agustus bulan Ajaran Sosial Gereja.
Sejak 2002 FMKI Jawa Tengah menggagas perlunya menggulirkan Gerakan Apresiasi Pancasila. Gerakan itu dipandang penting dalam menghadapi kondisi masyarakat yang alergi terhadap Pancasila, agar terpelihara ruang bersama yang disebut res publica yang punya dasar yang sama bagi seluruh warga bangsa ini. Gerakan ini diintegrasikan dalam Civic Education tahun 2003.

PERTEMUAN NASIONAL IV FMKI di Jakarta, 23-26 Oktober 2003, mengolah tema: “Kesadaran, Panggilan dan Keterlibatan Umat dalam Kehidupan Sosial Politik di Era Globalisasi”. Hadir 121 peserta mewakili spektrum umat Katolik Indonesia.
Tema tersebut dibagi dalam sub-tema:
1. Kerasulan Awam di Bidang Sosial Politik,
Kelompok ini menghasilkan rumusan bahwa perlu menghadirkan Gereja agar ikut ambil bagian dalam keputusan untuk menentukan nasib bangsa, khususnya demi tujuan kesejahteraan umum, dan demi martabat manusia yang luhur.
2. Pendidikan Kader dan Pendidikan Politik dalam Mewujudkan Civil Society,
Kelompok ini menekankan pentingnya pelaksanaan kaderisasi secara terstruktur, sistematis, terukur, dan berkesinambungan
3. Revitalisasi Wawasan Keadilan dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika untuk Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Warga Bangsa.
Kelompok ini mengemukakan pandangan bahwa masalah wawasan kebangsaan merupakan masalah yang serius akibat globalisasi, ketidakadilan, fundamentalisme baik di bidang agama, ras, suku, dan etnis, yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Kajian dari masing-masing kelompok ini diperkaya dengan masukan yang diberikan panelis: Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ, Rm. Is. Warno Binarja, SJ; dan Krissantono.

PERTEMUAN NASIONAL V di Makassar, 24-27 Agustus 2005, mengolah tema: “Pengembangan Komunitas Yang Mandiri dengan Memberdayakan Pluritas Budaya Nusantara Secara Adil”
Sekretariat Pernas V FMKI KAMS, Jl. Pengayoman F A 5/1 Makassar, Telpon: 0411-455139, 0411-5703123; Fax.: 0411-446949, Email:fmkikams2005@yahoo.com.
Panitia Pelaksana Pernas V Ketua: Lita Limpo, SE Msi; Sekretaris: Stepanus Bo’do’
FMKI KAMS 2004-2006: Ketua Umum: Julius Yunus Tedja; Sekretaris I: IR Hendrikus GD Parera. (Lh. Surat No. 06/X/PANPEL/PERNAS-FMKI/VI/S005)

PERTEMUAN NASIONAL VI di Surabaya, 27-30 September 2007
MEMORANDUM SURABAYA
Pertemuan Nasional VI Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) yang berlangsung di Surabaya, 27-30 September 2007, setelah menelaah keadaan bangsa, masyarakat, dan negara dewasa ini, menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Rasa prihatin terhadap penderitaan sebagian besar masyarakat, akibat kondisi kemiskinan dan pengangguran yang bersifat struktural yang semakin mengkhawatirkan. Kendati demikian tidak terlihat kesungguhan langkah-langkah penyelenggara negara dan kekuasaan pemerintahan untuk mengatasinya;
2. Rasa muak terhadap praktek korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power) yang semakin ekstensif dan intensif. Kendati ada langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan, namun diragukan kesungguhan untuk menuntaskan, diantaranya karena masih bersifat diskriminatif (tebang pilih);
3. Kendati terlihat adanya kemajuan dalam kehidupan demokrasi menyangkut aspek sistem dan formalitas prosedural, namun jiwa, semangat batin, spiritualitas, dan budaya demokrasi ternyata semakin mengalami degradasi. Akibatnya demokratisasi politik ternyata tidak membawa manfaat bagi upaya mengatasi penderitaan rakyat di bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan keadilan sosial;
4. Neo-liberalisme yang beroperasi secara global, semakin mengancam eksistensi Negara-Bangsa, menghancurkan potensi masyarakat, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Keadaan ini mengakibatkan keterpurukan di semua bidang kehidupan masyarakat. Sementara itu rambu-rambu konstitusional dan peraturan perundang-undangan tidak ampuh menghadapi penerobosan Neo-liberalisme. Apalagi Amandemen atas UUD 1945 (yang asli) menjadi UUD Baru (UUD 2002) justru memberikan peluang yang lebih leluasa bagi beroperasinya Neo-liberalisme.
5. Dalam pada itu nilai-nilai dasar otentik, diantaranya: Negara-Bangsa (Nation-State), Pancasila, kebhinekaan / keanekaragaman (pluralitas) dalam persatuan dan kesatuan bangsa yang menghadapi gangguan dan ancaman. Sudah berlangsung perubahan jati diri Negara-Bangsa menjadi Negara-Agama, antara lain dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang di dasarkan pada syariah agama di sejumlah kabupaten / kota madya. Padahal nilai-nilai dasar otentik tersebut adalah hasil perenungan dan pergolakan batin yang mendalam dari para pendiri Republik (Founding Fathers) dalam masa perjuangan dan pergerakan kemerdekaan, dalam masa yang lama. Konflik antar kelompok yang bersifat sektorian, primodialisme, keyakinan agamis dan ideologis, pengelompokan politis serta kepincangan sosial-ekonomi memerlemah, bahkan mengancam persatuan dan kesatuan dan kesatuan bangsa. Sementara itu penyelenggara negara dan kekuasaaan pemerintahan, seolah-olah membiarkan faktor-faktor disintegratif tersebut terus beroperasi.

Melihat keadaan seperti dikemukakan di atas, ancaman terhadap eksistensi Negara-Bangsa hasil perjuangan kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dapat terjadi. Dalam kaitan ini, Forum Masyarakat Katolik Indonesia:
1. Mendesak penyelenggara Negara dan kekuasaan pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah terobosan mengatasi pengangguran dan kemiskinan struktural;
2. Mendesak penyelenggara Negara mencegah dan memberantas korupsi secara konsisten dan konsekuen;
3. Mendesak penyelenggara Negara menegah kecenderungan terjadinya pengaburan bahkan perubahan jati diri Negara-Bangsa, serta pengaburan nilai dasar dan penyimpangan implementasi Pancasila;
4. Mendesak penyelenggara Negara, baik eksekutif, MPR, dan DPR untuk meninjau kembali rambu-rambu konstitusional dan peraturan perundang-undangan guna menghadapi arus Neo-liberalisme;
5. Mengajak semua komponen bangsa dan semua komunitas dari berbagai latar belakang guna bekerja sama memelihara dan mempertahankan Negara-Bangsa, Pancasila, pluralitas dalam persatuan dan kesatuan bangsa serta mengeliminasi faktor-faktor disintegratif bangsa;
6. Mendesak partai-partai politik dan mengajak masyarakat menjadikan Pilkada sebagai sarana memperbaiki kehidupan rakyat, bukan sebagai transaksi bisnis dan pemburu kekuasaan. Mengkondisikan penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden/ Wakil Presiden menghasilkan penyelenggara negara (wakil-wakil rakyat dan pimpinan eksekutif) yang berwawasan kenegaraan dan mengabdi pada kepentingan rakyat.
Surabaya, 29 September 2007

Pertemuan Nasional VI
Forum Masyarakat Katolik Indonesia
PERTEMUAN NASIONAL FMKI KE-VII TAHUN 2009 SOLO, 20 – 23 AGUSTUS 2009 membahas beberapa tema:
“Penegasan Peran FMKI Sebagai Mitra Gereja Di Bidang Sosial Politik Kemasyarakatan”, dengan sub tema sbb.:
1. Mengangkat Masa Depan Politik Islam di Indonesia Dr. Yudi Latief (Direktur Reform Institute Jakarta)
2. Budaya Politik dan Peranan Umat Beragama dalam Kebhinekaan Bangsa Indonesia Prof. Dr. Azyumardi Azra (Direktur ProgramPascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)
3. Perkembangan Politik Indonesia di Tengah Globalisasi Politik Dunia Dr. J. Kristiadi (Peniliti di CSIS Jakarta)
4. Peranan Umat Katolik dan FMKI dalam Memperbarui Politik Kebangsaan Indonesia Dr. Daniel Dhakidae (Mantan Litbang Harian KOMPAS Jakarta)
5. Ke-Katolikan dan Ke-Indonesiaan ajaran/tuntunan Mgr. Sugiyopranoto Dr. G. Subanar, SJ (Dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
6. Kelahiran FMKI Sebagai Proses Pendewasaan Kerasulan Awam (Kerawam) Menjadi Mitra Hirarki Gereja dalam Menghadapi Tantangan Zaman Mgr. Dr. Johannes Pujasumarta (Uskup Bandung)









Rabu, 27 Agustus 2014

====D O A ====

=== KAU BERI AKU SIANG UNTUK AKU BEKERJA,
KAU BERI AKU MALAM untuk beristirahat. SEMUANYA DARI KEMURAHAN KASIHMU YANG TANPA AKU BAYAR. TIDAK CUKUP ITU ... MASIH JUGA AKU TERUS MEMINTA DAN MEMINTA kebaikanmu. DENGAN RENDAH HATI AKU MENYAMPAIKAN ... TUHAN ... ampunilah aku YANG BERDOSA INI ===

Rabu, 20 Agustus 2014

GEREJAKU GEREJA GESER.

GerejaKu: GEREJA geser (GERAKAN SERIBU RUPIAH PERKK PERBULAN. 
DIBANGUN ATAS SWADAYA UMAT   PAROKI STU.YOSEP PEKERJA  PENFUI   KUPANG NTT.

Minggu, 23 Desember 2012

ATAS NAMA BAPAK DAN PUTRA DAN ROH KUDUS AMIN


B APAK KAMI YANG ADA SURGA Dimuliakanlah namaMu DATANGLAH kerajaanmu, JADILAH kehendakmu DIATAS BUMI SEPERTI DIDALAM SURGA ... ..
BERIKANLAH KAMI REJEKI PADA HARI INI, DAN AMPUNILAH KESALAHAN KAMI, SEPERTI kamipun MENGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH KEPADA KAMI .... DAN JANGANLAH MASUKKAN KAMI KEDALAM PERCOBAAN TETAPI BEBASKANLAH KAMI DARI YANG JAHAT AMIN ............

S ALAM MARIA PENUH RAHMAT, Tuhan sertamu terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah TUBUHMU YEUSUS ....
SANTA MARIA BUNDA ALLAH, doakanlah kami yang BERDOSAINI, SEKARANG DAN PADA WAKTU KAMI MATI AMIN ......... ..

ATAS NAMA BAPAK DAN PUTRA DAN ROH KUDUS AMIN ............ .

Sabtu, 21 April 2012

RENUNGAN HARIANKU



1.    God Loves You!
Alkitab berkata, "Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal"
Masalahnya adalah bahwa ...

2. Kita semua telah melakukan, berpikir hal-hal yang salah. Ini disebut dosa, dan dosa-dosa kita telah memisahkan kita dari Allah.
Alkitab berkata "Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah." Allah adalah sempurna dan suci, dan dosa-dosa kita memisahkan kita dari Allah selamanya. Alkitab mengatakan "Sebab upah dosa adalah maut."
Kabar baiknya adalah bahwa, sekitar 2.000 tahun yang lalu,

3. Allah mengutus Anak-Nya Yesus Kristus untuk mati bagi dosa kita.
Yesus adalah Anak Allah. Dia hidup tanpa dosa dan kemudian mati di kayu salib untuk membayar hukuman dosa kita. "Allah menunjukkan kasih-Nya bagi kita ketika kita masih berdosa Kristus mati untuk kita."
         Yesus bangkit dari antara orang mati dan sekarang Dia tinggal di surga dengan Allah Bapa-Nya. Dia menawarkan kepada kita karunia hidup kekal - hidup selamanya dengan Dia di surga jika kita menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yesus berkata "Akulah jalan, kebenaran, dan hidup Tidak ada yang datang kepada Bapa kecuali dengan Aku.."
        Tuhan menjangkau jatuh cinta kepada kita dan ingin kita menjadi anak-Nya."Kepada kita Dia memberikan hak untuk menjadi anak-anak Allah, bahkan bagi mereka yang percaya pada nama-Nya." Kita dapat memilih untuk meminta Yesus Kristus untuk mengampuni dosa-dosa kita dan datang dalam hidup kita sebagai Tuhan dan Juruselamat.

4. Jika Anda ingin menerima Kristus sebagai Juruselamat Anda dan berbalik dari dosa Anda, Anda dapat meminta kepada-Nya untuk menjadi Juruselamat dan Tuhan Anda dengan berdoa doa seperti ini:
        "Tuhan Yesus, saya percaya Engkau Anak Allah Terima kasih telah mengorbankan diriMUdi kayu salib bagi dosa-dosa saya.. ampuni dosa saya dan memberi saya karunia hidup kekal. hiduplah dalam hati saya supaya saya dapat kuat menjalani hidup ini untuk melayani sesamaku.
Untuk memperkuat renungan ini diikiti dengan doa  AKU PERCAYA.

Jumat, 17 September 2010

Kunjungan Sri Paus
Jangan Biarkan Ateis Hancurkan Tradisi
Sabtu, 18 September 2010 | 08:40 WIB

Paus Benediktus XVI saat berada di Parlemen Inggris dalam kunjungan empat harinya dari tanggal 16 - 19 Sember 2010.
TERKAIT:
LONDON, KOMPAS.com - Paus Benediktus XVI melontarkan seruan bernada keras untuk membela ajaran Kristen dalam lawatannya ke Inggris. Paus mengatakan, Natal terancam dihapus dari kalender.

Dalam sebuah pidato tegas yang disampaikan di Parlemen Inggris, Jumat (17/9), sebagaimana dilaporkan Dailymail, Benediktus XVI secara terbuka mengatakan kepada para politisi untuk tidak membungkam agama dan mencegah perayaan publik yang telah menjadi bagian terpenting dari agama tersebut. Dalam suatu serangan terselubung terhadap undang-undang kesetaraan Inggris yang kontroversial, Paus mengatakan, undang-undang yang memaksa orang Kristen bertindak melawan hati nurani mereka merupakan sesuatu yang salah.
"Ada orang yang akan menganjurkan bahwa suara agama dibungkam, atau setidaknya diturunkan murni ke ruang lingkup pribadi," katanya kepada para politisi senior dan tokoh masyarakat.

"Ada yang berpendapat, perayaan publik seperti perayaan Natal harus dicegah, berdasarkan keyakinan yang patut dipertanyakan yang menyatakan bahwa hal itu, entah bagaimana, bisa menyinggung agama orang lain atau orang yang tidak bergama."

"Dan ada orang yang berpendapat - secara paradoks, dengan maksud untuk menghapus diskriminasi - bahwa orang Kristen dalam peran publik harus diminta untuk bertindak melawan hati nurani mereka. Ini merupakan tanda-tanda yang mengkhawatirkan dari sebuah kegagalan untuk menghargai bukan hanya hak orang-orang yang percaya atas kebebasan hati nurani dan kebebasan beragama, tetapi juga peran agama yang sah di hadapan umum."

Paus menegaskan, ajaran Kristen tidak boleh dipaksa untuk dipinggirikan dan perayaan termasuk Natal dan Paskah diubah demi mencegah serangan. Dalam pidatonya, Paus mengatakan, ia menyuarakan keprihatinannya terhadap berkembangnya marginalisasi agama - khususnya agama Kristen - bahkan di negara-negara yang menempatkan penekanan besar pada toleransi.

Paus juga menyinggung soal krisis keuangan global dengan mengatakan, kegagalan moral harus disalahkan atas krisis tersebut. Ia mengatakan, "Ada kesepakatan luas bahwa kurangnya landasan etika yang kokoh bagi kegiatan ekonomi telah memberikan kontribusi pada kondisi sulit yang dialami sekarang ini oleh jutaan orang di seluruh dunia."

Keamanan di sekitar kunjungan Paus ke Inggris diperketat setelah penangkapan enam orang di pusat kota London terkait adanya sebuah rencana teror yang diduga akan menyerangnya. Scotland Yard mengatakan, tidak akan ada perubahan dalam rencana pertemuan Paus dengan publik.

Di Westminster Hall, Tony Blair dan Gordon Brown duduk berdampingan untuk pertama kali setelah berbulan-bulan - dan mungkin menjadi pertemuan rumit setelah terbitnya memoar Blair yang meledak di pasaran. Kedua mantan perdana menteri Inggris yang berseteru itu terlihat mengobrol sopan saat mereka menunggu Paus, tapi bahasa tubuh mereka saat itu memperlihatkan sinyal yang berbeda. Mantan Perdana Menteri Margareth Thatcher dan John Major juga ada di antara hadirin, yang bertepuk tangan dengan penuh semangat sebelum dan sesudah Sri Paus berbicara.
DIPLOMATIK
Paus Awali Kunjungan ke Inggris
Kamis, 16 September 2010 | 18:48 WIB
KOMPAS.com — Selepas mendarat di Edinburg, Skotlandia, Kamis (16/9/2010), Paus Benediktus XVI mengawali kunjungannya ke Inggris Raya. Menurut catatan The Sun, di Edinburg, Paus akan bertemu dengan Ratu Elizabeth II di Holyrood House. Di Edinburg juga, Paus akan diarak berkeliling kota sebelum memimpin perayaan misa di Glasgow.
Kunjungan Paus Benediktus XVI ke Inggris Raya kali ini adalah kesempatan selama 28 tahun sejak pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II melakukan hal yang sama. Pada kunjungan tersebut, Paus Benediktus XVI dibayang-bayangi dampak komentar penasihatnya, Kardinal Walter Kasper.
Ceritanya, sebelum kunjungan terlaksana, Kardinal Walter Kasper mengatakan di sebuah media massa Jerman kalau di Inggris terjadi sekularisasi besar-besaran. "Kalau Anda mendarat di Inggris, Anda seperti mendarat di 'Dunia Ketiga'," begitu komentar kardinal gaek itu.
Namun, Vatikan mengatakan kalau komentar itu untuk menunjukkan keanekaragaman budaya di Inggris. Sudah begitu, Kardinal Walter tidak ikut pula dalam rombongan Paus kali ini. Padahal, Pemimpin Gereja Katolik Skotlandia Kardinal Keith O'Brien berharap kalau Kardinal Wartel ikut. "Paling tidak, di sini, Kardinal Walter bisa mengatakan maaf untuk komentarnya itu," kata O'Brien seraya menambahkan kalau permintaan maaf Kardinal Walter tetap dinanti dalam kesempatan apa pun.
Di dalam rombongan itu, Paus disertai oleh 30 pejabat senior Vatikan dan lusinan jurnalis. Sementara agenda lainnya selama kunjungan adalah pertemuan Paus Benediktus XVI dengan Perdana Menteri James Cameron.
Puncak kunjungan Paus yang berakhir pada Minggu (19/9/2010) adalah perayaan beratifikasi atau penganugerahaan sebagai orang kudus dalam ritus Gereja Katolik Roma untuk almarhum Kardinal John Henry Newman. Acara itu bakal digelar di Birmingham.
Paus Bentuk Dua Dewan Kepausan Baru
Rabu, 30 Juni 2010 | 21:14 WIB
VATICAN CITY, KOMPAS.com - Paus Benediktus XVI, Rabu (30/6), membentuk dua posisi penting baru di Vatikan, termasuk seorang sebagai kepala sebuah kementerian baru untuk melawan "sekularisasi masyarakat".

Paus membentuk Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, yang bertugas bisa menghidupkan kembali iman di negara-negara tradisional Katolik. Uskup Agung Voghenza, Salvatore Fisichella yang berpengaruh, ditunjuk sebagai pos baru itu.

"Saya telah memutuskan untuk membuat sebuah badan baru dengan tujuan mempromosikan sebuah evangelisasi baru di negara-negara yang sedang mengalami sekularisasi progresif dan sebuah kemerosotan makna akan Allah," kata Sri Paus.

Fisichella (58 tahun) sampai sekarang menjadi kepala Akademi Kepausan untuk Kehidupan dan pembantu rektor Universitas Kepausan Lateran.

Paus juga memilih kepala baru untuk Kongregasi Uskup, suatu badan pentingnya baru dalam beberapa bulan terakhir, karena banyak uskup mengundurkan diri terkait penanganan mereka atas skandal pedofilia para para imam yang telah mengguncang Gereja Katolik di seluruh dunia. Uskup Agung Keuskupan Quebec, Kanada, Kardinal Marc Ouellet, ditunjuk sebagai kepala badan itu setelah Giovanni Battista Re yang berusia 76 tahun mengajukan pengunduran dirinya karena usia tua, kata Vatikan dalam sebuah pernyataan.

Paus juga menunjuk Celestino Migliore, yang sampai sekarang menjadi pengamat tetap Tahta Suci di PBB, sebagai duta Vatikan yang baru untuk Polandia.
Paus Selesaikan Buku Kedua tentang Yesus
Senin, 10 Mei 2010 | 22:39 WIB
Telegraph
Paus Benediktus XVI
VATIKAN, KOMPAS.com — Paus Benediktus XVI telah menyelesaikan buku keduanya tentang Yesus Kristus. Menurut Vatikan, Senin (10/5/2010), buku itu akan segera tersedia dalam beberapa bulan ke depan di toko-toko buku.
Pernyatan resmi Vatikan menyebutkan, buku itu memfokuskan pada kisah sengsara dan kebangkitan Yesus Sang Juru Selamat.
Untuk diketahui, buku pertama Paus Benediktus XVI yang berkisah tentang kehidupan Yesus, terutama masa-masa Dia mewartakan kabar gembira melalui pengajarannya yang diluncurkan tahun 2007 lalu menjadi best seller.
Buku kedua ini rencananya akan diserahkan kepada dua penerbit sekaligus. Selain penerbit Vatikan, Libreria Editrice Vaticana, buku itu juga diserahkan kepada sebuah penerbit di Jerman. Libreria Editrice Vaticana akan menerjemahkan buku tersebut yang ditulis dalam bahasa Jerman sebagai bahasa ibu Paus.

Minggu, 27 Juni 2010

SOSIOLOGI AGAMA

Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.
Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.
Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.
Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.
http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/

Bab I Pandangan Sosiologis Tentang Agama
Karena luas dan keanekaragaman pokok bahasannya, maka bidang agama merupakan sesuatu yang sulit untuk diukur dengan menggunakan penilaian sosiologi. Bagi kebanyakan di antara kita, perhatian utama terhadap agama bersifat perorangan dan individualistik. Dalam mengkaji agama tersebut kita cenderung memusatkan pada aspek-aspek etik dan kepercayaan yang lebih bersifat intelektual dan emosional.
William James, dalam definisinya tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat universal, sosial dan institusional. James tertarik kepada agama sebagai fungsi universal masyarakat di mana saja mereka temukan. Perhatiannya adalah kepada agama sebagai salah-satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarkat.
Orang pertama yang mendahului bahwa tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan.
Penulis-penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Durkheim, dan belakangan juga freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Semua yang dijelaskan tentang agama, bahwa agama itu merupakan produk kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk pencipta kebudayaan.
Salah satu hal yang terpenting dalam agama pada masyarkat adalah ia harus percaya terhadap hal yang sakral, walaupun ini berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan ataupun sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang dikenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau, sering kita katakan, antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane).
Ciri umum apakah yang kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak terbatas ini, yang bisa disebut sakral? Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujud-wujudnya saja kita akan menemukan jawaban. Menurut emile durkheim, bukan benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justeru berbagai sikap dan perasaan yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Berkaitan erat dengan yang sakral, atau suci, adalah yang tidak suci; yang mencakup apa saja yang dianggap mencemarkan yang suci itu. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral di pagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.

Bab II Fungsi-Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Istilah fungsi, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus.
Tujuan yang diharapkan untuk meningkatkan kesempatan mencapai kebahagiaan Nirwana (surga), sedangkan yang diharapkan orang metodis dengan perbuatannya itu adalah untuk menyalurkan kebahagiaannya karena yakin bahwa dia diselamtkan karena rahmat Tuhan dari dosa-dosanya. Tujuan-tujuan lain yang diakui oleh para anggota berbagai kelompok keagamaan itu berkaitan dengan kehidupan di dunia lain, masuk surga dan terhindar dari neraka, meringankan (beban) arwah di tempat penyucian dosa, dan memperoleh jaminan untuk berpindah ketingkat kehidupan yang paling tinggi. Meskipun demikian para penganut agama lainnya mungkin mengatakan bahwa tujuan mereka adalah mengharmoniskan jiwa mereka dengan alam semesta, mengagungkan Tuhan dan melaksanakan kehendak-nya secara sempurna, atau dengan sembahyang, berdoa mereka membujuk dewa-dewa agar berkenan memberikan rahmat kepada umat manusia.
Tanpa adanya maksud-maksud yang disadari semacam itu, sangat boleh jadi tingkah-laku keagamaan tidak akan dilaksanakan. Akibat-akibat yang tidak disengaja dari tingkah-laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada tujuan-tujuan mereka yang disadari. Maksud dari itu semua fungsi-fungsi yang tidak disengaja yang dilaksanakan oleh suatu bentuk tingkah-laku institusional tertentu kadang-kadang dinyatakan oleh sarjana sosiologi sebagai fungsi latent (tersembunyi); sedangkan fungsi yang disengaja, tujuan-tujuan yang resmi dari lembaga tersebut disebut fungsi manifest (nyata).
Sumbangan agama terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal, dan kedua, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu beberapa jenis persetujuan bersama, atau konsesnsus, mengenai wujud kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai adanya kekuatan yang mampu memaksa orang-orang dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai sosial. Bahwasanya masyarakat sedikit banyak ditemukannya konsep-konsep yang jelas mengenai tingkah-laku yang diakui sesuai standar tingkah-laku itu. Yang membentuk nilai-nilai sosial ini, sering disebut oleh sarjana-sarjana sosiologi sebagai norma-norma sosial.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran kepribadian. Maka harus ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.

Bab III Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama
Di dalam seluruh masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, orang yang membedakan antara masalah-masalah yang sakral dan yang sekuler. Ada tiga tipe masyarakat. Tipe pertama adalah masyarakat dimana nilai-nilai yang sakral kuat sekali. Masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial mereka relatif masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat sederhana.
Penganut agama yang sama; oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan maupun rekreatif.
Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya karena sebagian besar adat-istiadatnya dikenal. Masyarakat ini berpendapat bahwa pertama, agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak; kedua dalam keadaan lembaga lain selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Tipe kedua mencerminkan sejenis lingkungan di antara dua tipe lain tersebut. Tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, pertanian dan industri tangan, beberapa pusat perdagangan kota. Batas-batas yang lebih tegas dapat diketahui kapan orang-orang pergi berkerja, bermain, atau pergi bersembahyang daripada, misalnya di kalangan penduduk (pulau) Trobriand.
Agama tentu saja memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan.
Tipe ketiga adalah masyarakat di mana nilai-nilai sekuler sangat berpengaruh. Deskripsi di bawah ini jelas agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat. Akan tetapi yang disebut terakhir ini, karena tingginya tingkat sekularismenya, bisa dianggap sebagai salah-satu contoh yang apling mirip dengan masyarakat tipe ketiga ini.
Dalam tipe masyarakt ketiga ini karena sekuler di bidang ekonomi bisa juga mengambil warna sakral yang semu. Di dalam banyak deskripsi yang populer mengenai tatanan ekonomi pada masyarakat modern tampak bahwa seringkali kata uang dapat diganti dengan moral, tanpa terfikir apakah ini merupakan kesalahan cetak atau kesalahan tulisan.
Tingkah-laku sejumlah orang dalam masyarakat industri yang relatif modern dibentuk semata-mata, atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja, antara lain di sebabkan oleh keanekaragaman sistem nilai dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendaptkan kesetiaan setiap individu anggotanya.
Eksistensi sub-sub masyrakat yang lebih kecil di dalam masyarakat kita yang lebih luas ini dengan konsepsi mereka yang berbeda-beda tentang peranan agama menimbulkan konflik-konflik dan ketidaksesuaian baik dalam tatanan sosial maupun dalam kepribadian mereka.

Bab IV Agama dan Ketegangan Manusia
Di kalangan semua masyarakat terdapat masa-masa di mana segala sesuatu berjalan lancar, kewajiban-kewajiban sosial berjalan normal, dan pria-wanita melaksanakan peranan sosial mereka dengan cukup aman sehingga teman-teman mereka akan melaksanakan hal yang sama pula. Bahwa mereka dapat saling mempercayai satu sama lain, dan mereka tahu sebagian besar dari apa yang dapat mereka harapkan di dunia natural maupun dunia sosial.
Pada saat-saat kebanyakan masyarakat di mana orang melakukan pekerjaan tanpa ketegangan yang berarti dan alat-alat yang tersedia pada mereka cukup untuk mencapai tujuan yang didambakan, tapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Akan tetapi kita mengetahui bahwa tragedi dan ketegangan itu merupakan sifat dasar dari situasi manusia. Baik itu besar atau kecil, dalam semua tipe masyarakt antara harapan-harapan yang dilandasi oleh sikap budaya mereka dan tercapainya harapan-harapan tersebut. Oleh karena itu cara ilmiah yang praktis, bagaimanapun tinggi perkembangannya, tidak pernah cukup untuk memenuhi situasi manusia. Maka adapula yang menggunakan cara ilmiah modern kemungkinan antisipasi dari terciptanya teknologi yang pesat, secara tidak langsung telah mendorong terciptanya aura-aura baru yang tidak dapat di kuasai.
Demikian pula dari satu segi, agama dapat dianggap-meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambaran yang tuntas-sebagai salah-satu cara yang paling pengting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan dapat dibagi dalam dua kategori utama. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang-orang lain yang penting bagi mereka. Lalu dengan kategori kedua, yang penting adalah situasi-situasi di mana kekuatan-kekuatan alam yang sebagian besar tidak dapat dikuasai dan diramalkan bisa membahayakan kebutuhan vital masyarakat yaitu persediaan makanan dan kesehatan.
Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui bahwa kita pasti akan mati, namun hampir tak seorang pun mengetahui kapan kematian itu akan terjadi. Tak seorang pun, selain barangkali orang yang bunuh diri, dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya. Antara lain karena ketidakpastian inilah kita menemukan interpretasi- interpretasi keagamaan tentang kemtian dalam setiap masyarakat.
Seorang sarjana sosiologi mengira apabila dalam masyarakat kematian yang belum waktunya sudah tidak ada lagi, melalui penerapan ahli seperti dokter dan usaha-usaha untuk menghindar dari terjadinya kecelakaan- kecelakaan, sehingga setiap orang dapat mengharapkan hidup sampai umur 70 tahun, sebagian peranan yang sekarang dimainkan agama dalam urusan- urusan kemanusiaan barangkali akan berubah secara mendasar.
Agama sering dilibatkan terhadap penyesuaian diri dalam berbagai hal seperti istilah magi dalam menguasai yang gaib pada praktik-praktik keagamaan yang semu. Dan agama dilirik oleh sains yang memberi manusia cara-cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Yang pada akhirnya magi, sains dan agama memberikan tipe-tipe masyrakat yang bermacam-macam. Akan tetapi unsur penyesuaian diri tersebut sama sekali tidak berasal dari lingkungan yang sama. Walaupun memiliki penyerapan dan penafsiran yang berbeda.
Tujuan-tujuan agama terarah kepada hal-hal yang nonempirik, atau dunia lain yang gaib (adikodrati). Meskipun agama seringkali berkaitan dengan kesejahteraan jasmani dan sosial umat manusia, namun agama selalu mempunyai titik acuan yang transendental.

Bab V Agama, Masalah Makna dan Masyarakat
Setiap masyarakat yang telah mampu mempertahankan dirinya dalam jangka waktu lama di tengah-tengah peperangan-peperangan dan kemelut-kemelut yang terjadi berbarengan dengan kehidupan berkelompok mereka, telah mampu mengembangkan sejumlah interpretasi moral terhadap pandangan hidupnya sendiri, sebagai penjelasan tentang persoalan makna kemasyarakatan. Pada kenyataanya juga sama pentingnya adalah bahwa sampai sekarang tak ada sekelompok orangpun yang mampu memberikan penjelasan tentang makna sistem sosialnya yang mengikat erat secara moral itu, tanpa memasukkan beberapa unsur, betapa kecilnya, di luar makna umum yang empirik.
Pertimbangan-Pertimbangan tersebut di atas memberikan konteks umum dengan peranan agama dalam memberikan penafsiran-penafsiran secara moral tentang sejarah umat manusia dan aturan-aturan sosial.
Salah-satu diantara perhatian utama sarjana sosiologi adalah makna yang diberikan oleh agama-agama tertentu mengenai perbedaan-perbedaan posisi dan harga diri kelas-kelas sosial yang beraneka ragam. Dan mengulas interpretasi-interpretasi keagamaan mengenai sistem-sistem stratifikasi sosial.
Bagaimanapun juga pengkajian sosiologis selayaknya kita terapkan pada tempatnya. Di antara pada pengkaji boleh jadi ada yang setuju dengan pemikiran Marxis yang menganggap segala macam interpretasi keagamaan merupakan sekedar rasionalisasi-rasionalisasi, atau bahkan ada yang patuh juga kepada agama tertentu dan juga yang munafik, tetapi memenuhi keinginan-keinginan dari kelas-kelas yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu pembahasan di bawah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memisahkan atau menyendirikan faktor-faktor material dan ekonomi di satu pihak dan faktor-faktor keagamaan dan spiritual di lain pihak.
Sistem-sistem kelas memberikan status yang berbeda-beda dan tidak sama kepada anggota-anggota suatu masyarakat. Akibat dari ketidaksamaan sosial tersebut kadang-kadang tidak hanya sangat tajam tetapi juga diperlakukan secara ketat. Situasi ini lagi-lagi menimbulkan masalah penafsiran terhadap sistem sosial dalam pengertian moral dan yang bermakna.
Sistem kelas-kelas atau tingkat-tingkat sosial di Eropa pada abad pertengahan dalam hal-hal yang penting berbeda dengan sistem kasta dalam agama Hindu. Metode yang digunakan oleh pandangan keagamaan untuk memberi makna moral kepada sistem kelas di abad pertengahan tersebut juga berbeda. Dengan demikian sistem pada abad pertengahan tersebut menghidupkan terus ketidaksamaan-ketidaksamaan yang besar memerlukan interpretasi secara moral.
St. Augustine, yang bukunya City of God paling jelas mengungkapkan konsepsi tujuan ini, menjelaskan bahwa pembenaran moral dari umat adalah untuk mempertahankan kondisi-kondisi semacam itu sehingga orang-orang kristen dapat menjalankan kehidupan duniawi mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka yang abadi. Selain itu Lembaga-lembaga ekonomi, begitu juga sistem-sistem kelas yang berkaitan, memerlukan interpretasi moral. Pemerataan kekayaan dan cara-cara memperolehnya bisa menimbulkan perasaan-perasaan ketidakadilan dan ketidaksamaan. Di dalam masyarakat-masyarakat ini berbagai ketidakadilan dan ketidaksamaan nasib individu-individu dan negara-negara dengan berbagai bentuknya adalah jelas. Akan tetapi interpretasi-interpretasi sekuler terhadap makna tatanan sosial itu timbul bersama-sama dengan timbulnya interpretasi-interpretasi keagamaan. Oleh karena itu nasionalisme, komunisme dan mungkin demokrasi itu sendiri bisa menjadi agama-agama semu, yang merupakan tandingan agama spritual tradisional.

Bab VI Organisasi Keagamaan
Semua organisasi sosial yang dimaksudkan untuk membentuk tingkah-laku manusia sesuai dengan pola yang ditentukan, baik pola yang ditetapkan oleh doktrin agama, ajaran etik maupun oleh filsafat politik, pasti menghadapi suatu dilema. Jika organisasi tersebut ingin berhasil dalam memperdaya masyarakat sesuai dengan arah tujuannya masing-masing, maka organisasi tersebut harus berhasil dalam dua sektor.
Di satu pihak organisasi tersebut harus menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Di lain pihak, apabila organisasi itu juga ingin mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, mereka jelas harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka. Kedua persyaratan ini ibarat buah simalakama, karena keberhasilan pada salah-satu sektor saja biasanya menimbulkan bahaya pada sektor lainnya.
Oleh karena itu organisasi keagamaan dihadapkan kepada salah-satu di antara dua pilihan: melestarikan kemurnian etik dan spiritualnya dengan risiko lingkungan pengaruh sosialnya terbatas, atau jika organisasi tersebut ingin berpengaruh kuat dalam masyarakat tertentu, mungkin risikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian dari cita-cita uatamanya sendiri.
Dilema pokok dalam organisasi keagamaan bisa dilihat lebih jelas apabila kita mengkaji salah-satu di antara manifestasi-manifestasinya yang penting, yaitu gerakan keagamaan. Gerakan keagamaan di sini berarti setiap usaha yang terorganisasi untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Gerakan-gerakan semacam itu pada umumnya melalui serangkaian tahap yang relatif teratur baik dan setelah fase-fase pengembangan yang pertama gerakan-gerakan tersebut biasanya jadi mantap hubungannya dengan agama-agama lain. Fase-fase yang lebih tenang dari gerakan-gerakan keagamaan semacam itu bisa menjadi sumber timbulnya gerakan-gerakan keagamaan berikutnya.
Fase pertama, suatu gerakan keagamaan dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya. Pada fase kedua, gerakan tersebut para pengganti si pendiri dipaksa untuk memecahkan dan menjelaskan masalah-masalah penting mengenai organisasi, kepercayaan, dan ritus yang dibiarkan tidak terurus selama si pendiri masih hidup. Pada tahap ini gerakan tersebut secara khas menjadi apa yang sekarang kita sebut dengan sebuah gereja : yaitu organisasi formal dari suatu kelompok pemeluk yang mempunyai kesamaan dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus bersama yang tetap terhadap benda-benda dan wujud-wujud sakral yang mereka sembah.
Sebaliknya, sekte, pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang anggota-anggotanya bergabung secara sukarela, biasanya orang-orang dewasa. Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok: yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan.
Denominasi (denomination) adalah kelompok yang relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Sedangkan Cult adalah suatu tipe kelompok keagamaan kecil yang dalam beberapa hal sama dengan sekte, meskipun keanggotaannya berbeda. Terkadang kepemimpinan cult bersifat kharismatik, informal, tidak tentu dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kota metropolitan yang relatif tidak dikenal bahkan kadang-kadang korup juga. Kepercayaan-kepercayaan cult sering menekankan salah-satu aspek tertentu dari ajaran Kristen. Meskipun tipe-tipe organisasi-organisasi keagamaan yang beraneka-ragam itu mungkin bisa hidup bersama dalam satu masyarakat, walaupun ada beberapa masyarakat yang sesuai ataupun tidak.

Bab VII Agama Dalam Masyarakat Amerika
Pembahasan disebutkan bermacam-macam ilustrasi yang diambil dari suasana Amerika. Tapi sejauh ini telah dibicarakan fungsi-fungsi, organisasi dan perubahan-perubahan pada sistem-sistem keagamaan dalam kerangka sosial dan historis yang lebih luas. Generalisasi sosiologis memerlukan prosedur ini-maksudnya, memerlukan pengkajian bermacam-macam masyarakat, kebudayaan dan agama. Nilai-nilai bangsa Amerika modern barangkali tidak begitu tampak berkaitan dengan agama.
Aktivisme, universalisme dan individualisme–tiga buah contoh aliran yang sangat mengesankan—boleh jadi paling tepat untuk dikemukakan sebagai contoh kecil dari nilai-nilai keagamaan yang melanda kehidupan bangsa Amerika.
Tipe organisasi keagamaan yang telah berkembang di Amerika Serikat, pada umumnya cocok dengan demoraksi politik dan industri kita. Kecocokan ini antara lain karena adanya dua unsur yang berhubungan dari lingkungan keagamaan di Amerika, kedua-duanya timbul sejak masa-masa pertama republik tersebut.
Situasi ini telah menimbulkan akibat-akibat besar, yang positif dan memungkinkan, bagi perkembangan demokrasi liberal. Gereja-gereja di Amerika terbuka terhadap masuknya pengaruh-pengaruh kuat dari sekulerisasi. Amerika Serikat sangat berbeda dengan Inggris, sebagai contoh, bahwa di sana suatu bentuk ecclesia baru sekurang-kurangnya mampu memanfaatkan kekuasaan pemerintahan dalam bidang-bidang pendidikan, rekreaksi, moral dan penyantunan.
Suatu sistem organisasi keagamaan yang majemuk serta pemisahan yang tegas antara gereja dan negara memperlemah kedudukan agama pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain. Mengenai organisasi keagamaan yang merefleksikan dan bukannya memberi warna kepada masyarakat Amerika tergambar dalam kesejajaran antara pembagian-pembagian kelas sosial dan berbagai denominasi yang ada.
Tingkatan sosial denominasi-denominasi keagamaan tersebut memang diakui sesuai dengan sistem kelas bangsa Amerika yang bersifat terbuka.
Perpindahan besar-besaran yang terjadi pada dasawarsa terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa masuk sejumlah besar masyarakat petani dari Eropa bagian selatan dan timur ke kota-kota kita yang telah padat, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang menganut agama-agama Katolik Romawi, Ortodoks Yunani dan juga agama Yahudi.
Secara organisatoris, beberapa di antara gereja-gereja ini sangat berbeda dengan aliran gereja Protestan di Amerika, suatu kenyataan yang kadang-kadang bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan di bidang politik maupun keagamaan.
Namun demikian pada sisi positifnya, ketegangan-ketegangan dan ketidakserasian-ketidakserasian dalam struktur sosial tersebut bisa dianggap sebagai dorongan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian secara kreatif yang kemungkinan timbulnya banyak variasi dalam struktur sosial tersebut.
Terdapat bukti bahwa sampai batas tertentu hal ini telah terjadi di Amerika Serikat dan bahwa upaya secara terus-menerus untuk menciptakan kesatuan dalam keanekaragaman dan ketertiban dengan kebebasan sangat mendukung bagi suatu eksperimentasi yang bermanfaat baik di bidang sosial maupun politik.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. trans. Abdul Muis Naharong. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1997.
http://aadany-khan.blogspot.com/2009/07/agama-dan-masyarakat.html